Solo Trip ke 3 Destinasi Wisata Banyuwangi Dan Situbondo

wisata Banyuwna dan situbondo

Setelah menuntaskan rasa ingin tahu pada beberapa destinasi wisata di Bali yang dari dulu ingin saya kunjungi, solo trip dilanjutkan ke Banyuwangi. Rencananya, cuma mau mengunjungi wisata Banyuwangi saja. Ternyata sampai ke Situbondo.

Destinasi Wisata Banyuwangi dan Situbondo

Solo traveling perdana ke Banyuwangi ini benar-benar santai. Saking santainya, tiga hari di sana, cuma mengunjungi tiga spot wisata.

Taman Wisat Alam Kawah Ijen

Dari Bali saya naik travel antar alamat ke Banyuwangi. Berangkatnya siang, dan tiba di Banyuwangi sekitar selepas magrib. Setelah menaruh barang, saya cari makan malam, lalu istirahat untuk persiapan mendaki Kawah Ijen tengah malam nanti.

Lantaran tidak mau gambling sendirian ke Kawah Ijen tanpa kepastian soal teman jalan dan transportasi ke sana, saya memutuskan ikut open trip ke Kawah Ijen. Saya pesannya lewat hostel di Banyuwangi, tempat saya menginap.

Biaya tripnya Rp225.000/ orang, sudah termasuk jemput-antar, pemandu, sarapan, air mineral 600 ml., tiket masuk, serta senter (head lamp) dan masker besar untuk melihat blue fire.

Saya dijemput sekitar jam 00.30 wib. Meskipun di penginapan ada yang pesan trip ke Ijen juga, kami pergi terpisah. Mungkin karena saya daftarnya belakangan, jadi beda grup.

Belum tentu juga, orang-orang yang dijemputnya bareng, akan berada dalam satu grup. Seperti saya waktu itu.

Setelah menjemput saya, supirnya menjemput 4 orang lagi dari penginapan berbeda. Saya pikir, kami bakal satu grup pendakian, ternyata pisah.

Perjalanan dari pusat kota menuju Paltuding, pintu masuk menuju Taman Wisata Alam Kawah Ijen, makan waktu sekitar 1 – 1,5 jam. Saya bersyukur bahwa saya batal pergi sendirian. Rute jalannya memang mudah dan mulus, tapi menanjak dan gelap.

Sebagai pengendara lambat, saya pasti tertatih-tatih menaklukkan medannya. Diperlukan kendaraan 4WD atau motor besar agar nyaman di perjalanan.

Sampai di parkiran Paltuding, terlihat sudah banyak kendaraan dan calon pendaki. Semua bersiap sambil menahan hawa dingin khas pegunungan.

Saya digabungkan dengan pengunjung lain, yang ternyata dari penginapan berbeda-beda. Grup saya terdiri dari 6 orang bule dan saya sendiri orang lokalnya. Pemandunya bernama Rian.

Saya merasa pemandunya agak meremehkan saya, nih. Dia menjamin bahwa saya bakal ketinggalan langkah dari para bule itu.

Seandainya merasa tidak sanggup mendaki, dia menyarankan saya untuk menyewa troli atau ‘taksi’ khas Kawah Ijen. Biayanya Rp800.000 bolak-balik.

Saya iyakan saja. Jujur, sempat ciut juga, penasaran, seterjal apa, emangnya. Namun, begitu dengar biayanya, saya jadi punya alasan untuk bertahan. Lagian, saya juga tidak membawa uang sebanyak itu.

Mendekati jam 02.00 wib, Rian mengajak berkumpul dan melakukan briefing. Orang-orang pun mulai beranjak menuju gerbang masuk Kawah Ijen.

Lama pendakian diperkirakan 1,5 – 2 jam. Diharapkan sebelum jam 04.00 wib sudah di puncak, sehingga bisa turun ke kawah untuk melihat api biru (blue fire/ blue flame) yang mendunia itu.

Sepenglihatan saya, jumlah pengunjung asing mendominasi pagi itu. Sukar membedakan, mana yang mendaki secara mandiri, mana yang gabung open trip.

Track awalnya masih rata dan bisa ngobrol sambil jalan. Jarak antar peserta masih berdekatan.

“Siap-siap gigi satu, Mbak.” kata pria di sebelah saya yang merupakan pemandu grup lain. Saya sempat bingung. Ternyata, maksudnya, siap-siap untuk mulai nanjak, karena jalan memang terasa mulai miring ke atas.

Benar saja, baru beberapa langkah, jarak antar peserta mulai merenggang. Calon keringat terasa bermunculan di kulit. Napas mulai berat. Langkah melambat, tapi tidak berhenti.

Saya memastikan ke pemandu lain yang saya jumpai bahwa rutenya hanya lurus saja. Jadi, kalau ketinggalan, saya tidak khawatir tersesat.

Saya jalan sendirian tanpa peduli orang-orang. Ogah, dong, ketinggalan, lalu gagal melihat api biru yang cuma ada di Kawah Ijen itu.

Bonus jalan datarnya hanya beberapa meter sebelum menemukan tanjakan lagi. Jaket sudah saya ikatkan di pinggang. Saya yakin, saya kuat mencapai puncak, sesuai waktu yang diperkirakan.

Beberapa kali saya berhenti melangkah untuk mengatur napas. Beberapa orang sudah melewati saya, tapi, tidak ada satu pun wajah yang saya kenal.

Akhirnya saya menemukan jalan rata yang cukup panjang. Itu tandanya, puncak sudah di depan mata. Alhasil, sayalah yang menunggui anggota grup saya di puncak. Untunglah hanya sekitar 5 menit.

Kami punya banyak waktu ke spot selanjutnya. Dipimpin Rian, kami berjalan sebagai satu kesatuan.

Jalannya sempit dan terjal. Ditambah hari gelap, dan kerap berpapasan dengan penambang yang mendaki sambil membawa bongkahan belerang.

Fyi, kawasan api biru itu, sebetulnya, terlarang. Itu sebabnya, kalau terjadi musibah, tidak ditanggung asuransi.

Apa mau dikata, inilah daya tarik wisata Banyuwangi yang paling diminati wisatawan. Api biru yang konon, jika dilihat dari lokasi dan proses pembentukannya, hanya ada di Indonesia.

blue fire sebagai daya tarik wisata Banyuwangi
Wujud blue fire/ blue flame/ api biru Kawah Ijen yang menjadi daya tarik utama destinasi wisata Banyuwangi

Puncak Kawah Ijen sendiri, hanyalah hamparan tanah. Kawahnya merupakan sumber mata pencarian para penambang belerang. Sejak dini hari, mereka telah memenuhi kawah untuk menambang.

Bolak-balik, mereka memanggul belerang, sementara kita rela bersusah payah menuju tempat kerja mereka, demi melihat apa yang setiap hari mereka jumpai.

Oleh sebab itu, tidak ada salahnya berbagi secuil rezeki dengan membeli suvenir belerang yang mereka ukir. Harganya cuma Rp20.000.

Tidak bisa berlama-lama di bagian kawah ini, karena khawatir akan gas aspnya. Kami kembali ke atas melalui jalur yang sama, tapi kali ini lebih leluas melangkah karena jalannya terlihat jelas.

Selain pesona api biru, kawasan Kawah Ijen menawarkan hutan mati dengan danau berwarna hijau toska di bawahnya. Sayang, pagi itu kabut tebal begitu betah melayang menutupi pemandangan danau.

Lama menanti awannya berlalu, kami pun menyerah. Di tengah udara dingin dan tidak mau diterpa panas matahari, kami pun beranjak turun. Penasaran, apa menu sarapannya.

Jalan turun terasa menyenangkan karena sambil menikmati panorama di sekitar. Ada warung kecil dan toilet, ternyata, kalau mau buang air kecil, atau istirahat sejenak.

P.S.

TWA Kawah Ijen DITUTUP setiap HARI JUMAT, minggu pertama, setiap bulannya!

Taman Nasional Baluran

Sekembalinya ke penginapan, saya langsung menyewa motor. Tarifnya Rp100.000/hari. Setelah bersih-bersih, saya segera melajukan motor ke Taman Nasional Baluran.

Selama berkendara saya masih menganggap bahwa Baluran merupakan salah satu destinasi wisata Banyuwangi yang wajib dikunjungi. Sampai akhirnya saya melihat gerbang bertuliskan SITUBONDO.

Yup, Taman Nasional Baluran, secara geografis, terletak di wilayah Kabupaten Situbondo, tapi lebih cepat diakses dari Kabupaten Banyuwangi. Waktu tempuhnya tidak sampai 1 jam dari pusat kota Kabupaten Banyuwangi.

Banyak yang bilang TN. Baluran ini seperti di Afrika, karena kaya akan hamparan rumput luas, serta dihuni oleh hewan endemik Jawa. Sampai-sampai, tempat ini dijuluki Africa van Java.

Saya ke sana pada awal Oktober. Suasana Afrikanya terkesan mirip karena savananya masih kering kecokelatan, dan banyak pohon meranggas kering. Ditambah hewan-hewan liar, seperti monyet, rusa, dan kerbau yang berkeliaran bebas. Kebayang, kalau sampai ada jerapah, zebra, atau singa di sana.

Sebelum menyusuri areal taman nasional ini, pengunjung harus membeli tiket yang sudah termasuk biaya parkir. Setelah itu kita bebas mau berkeliling selama menaati aturan.

Intinya, manusia dilarang mengganggu ketertiban hidup para satwa.

Hati-hati sama monyet! Mereka tidak bisa melihat barang nganggur.

Sedikit cerita, ketika sedang asyik bikin video, saya tidak sadar ada seekor monyet di depan saya. Ketika saya berbalik, dia berlari mendekati motor. Sigap, saya menyelematkan ponsel dan memeluk erat tas.

Eee, dia malah nyolong tumbler tupperware yang saya taruh di kontainer motor. Diambil, dong. Dia bawa ke seberang jalan. Dia buka tutupnya, dan dia minum airnya.

Tadi saya sudah berusaha mengusir dengan mengeluarkan suara menakutkan. Bukannya takut, malah balas mengejek. Tentu saja saya seram melihat deretan giginya. Langsung kebayang cacar monyet.

Saya hanya bisa melihat dari jauh monyet itu menenggak sisa air minum di botol. Setelah itu dia letakkan begitu saja  di tanah. Dengan alasan tidak mau dianggap membuag sampah sembarangan, botol air itu saya ambil lagi. Sudah saya cuci, tapi tidak berani menggunakannya.

Di dalam kawasan Taman Nasional Baluran ini, terdapat Pantai Bama. Ikuti saja jalan aspal sampai ke ujung, nanti akan ada pintu masuk pantai. Tidak perlu bayar tiket lagi, tapi tetap harus bayar uang parkir.

Pantainya sedang surut saat itu. Saya cuma lihat-lihat sebentar. Banyak banget monyet berkeliaran, bahkan sampai ke tengah laut yang surut.

Lagi-lagi, saya diingatkan oleh staf di sana untuk menjaga barang bawaan. Kantin dan pendopo saja sampai didindingi kawat untuk mencegah gangguan para hewan jahil itu.

Di sini ada hutan mangrove, dan sebenarnya bisa menyeberang pulang dengan kapal. Lantaran surut, kapalnya cuma terparkir, jadi properti foto.

Tidak lama di pantai, saya kembali pulang. Tidak lupa berhenti untuk foto-foto dengan latar savana dan bukit.

P.S.

Taman Nasional Baluran ini buka setiap hari, dari jam 08.00 – 16.00 wib.

De Djawatan

Lantaran ada sesuatu di luar rencana, saya extend semalam di Banyuwangi. Untunglah sewa motornya dihitung 24 jam, jadi masih punya jatah waktu untuk keliling kota.

Hikmahnya,  saya punya kesempatan ke Hutan De Djawatan. Ini adalah destinasi wisata Banyuwangi yang banyak berseliweran di media sosial. Katanya mirip hutan yang ada di film The Lord Of The Rings.

Dari hostel saya di Jalan Opak, saya melajukan motor ke arah Jember, menuju De Djawatan. Mengandalkan Google Map, akhirnya saya melihat pintu masuknya.

De Djawatan adalah hutan yang dikelola oleh Perum Perhutani Divre Jawa Timur. Dulunya digunakan sebagai Tempat Penimbunan Kayu (TPK), hasil dari hutan yang dikelola Perhutani, sebelum sampai ke tangan pembeli.

De Djawatan dihuni oleh pohon-pohon trembesi yang berusia ratusan tahun. Pohonnya besar, tinggi, bercabang banyak, dan dipenuhi benalu.

Bukan tempat wisata, sebenarnya, tapi warga lokal sudah sering ke sini. Lalu, sejak tahun 2018, tempat ini dialihfungsikan sebagai salah satu spot wisata Banyuwangi yang diandalkan.

Hutannya tidak luas. Berkeliling sembari foto-foto selama satu jam saja, sudah cukup, sebenarnya. Namun, jika ingin berlama-lama memandang pohon-pohon trembesi, pengunjung bisa sambil duduk-duduk menikmati makanan di cafe atau warung-warung kecil di areal pintu masuk.

Pagi, adalah waktu terbaik ke sini, karena sepi dan udaranya masih adem. Sinar-sinar mentari menusuk di sela-sela cabang pohon, sehingga sedap dijadikan momen berfoto.

Dari De Djawatan, saya kembali ke penginapan, bergegas mengembalikan motor yang waktu sewanya sudah lewat beberapa menit. Masih banyak sisa waktu di Banyuwangi, saya manfaatkan untuk menjajal beberapa kuliner lokal.

Begitulah penjelajahan singkat saya di beberapa tempat wisata Banyuwangi dan Situbondo. Kalau tempat yang dikunjungi terkesan minim, padahal tiga malam di sana, ya, karena saya sengaja melewati destinasi pantai yang juga ramai dikunjungi orang-orang kalau ke Banyuwangi.

Kalau ditanya, apakah mau balik lagi? Pastinya MAU!

2 Replies to “Solo Trip ke 3 Destinasi Wisata Banyuwangi Dan Situbondo”

  1. Duuuuh Banyuwangi ini udh lama aku pengen datangin. Apalagi kawah ijennya mbaaa. Pokoknya kalo kesana aku mau banget naik ke atas. Sempet baca memang kalo ada ojek manusia utk anterin naik PP. Tapi karena sepupuku yang beda umurnya jauh, dia udh 50an, sanggub kesana tanpa ojek, ya aku ga mau naik ojek jadinya, malu dong .

    Lagian pengen ngeliat juga hasil workout rutin 2 tahun ini, masa iya ga sanggub naik ke atas.

    Itu monyet iseng banget . Jadi tuh botol Tupperware pensiun lah Yaa

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *