Ketika ada ajakan hiking ke Gunung Bungkuk dari anak-anak Backpacker Indonesia regional Bengkulu pada tanggal merah, 14 Mei 2015, saya langsung menawarkan diri untuk ikut karena akan jadi pengalaman pertama saya ke sana. Ternyata, di antara 14 orang yang pergi, belum ada satu pun yang tahu medannya. Alhasil, yang tadinya mengira jalurnya pendek, ternyata panjang dan lama. Rencananya pulang sore, berubah menjadi tengah malam.
Ada tujuh motor hari itu yang konvoi, dan satu orang yang dianggap tahu jalan ke sana ternyata lupa-lupa ingat sehingga kami sempat berhenti untuk sekadar memastikan arah kepada orang yang di dekat sana. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih satu setengah jam, kami tiba di rumah Kepala Desa. Di sini kami melapor dan minta izin untuk mendaki, menitipkan motor, dan tidak lupa meninggalkan nomor telepon.
Setelah itu, dimulailah penjelajahan melewati jalan tanah di antara kebun-kebun kopi. Track menuju kaki gunung relatif mudah, tapi cuaca panas membuat kami mandi keringat dan sering haus. Belum lagi buta jalur dan selingan beberapa kali hujan yang membut perjalanan terasa tanpa ujung. Untunglah ada beberapa sumber air di sepanjang jalan sehingga bisa mengobati dahaga dan mengisi persediaan di botol. Ada juga pondok-pondok kecil penduduk yang bisa dijadikan tempat berteduh, sekaligus bertanya untuk memastikan tujuan kami.
Karena tidak tahu berapa lama lagi langkah yang bakal ditempuh, kami berinisiatif menanyakan kepada penduduk yang rumahnya ada di kaki bukit. Mengikuti sarannya, kami memotong jalan mengikuti selang air yang nampak, karena bila terus menyusuri kebun kopi, jaraknya masih jauh dan memutar, sementara hari sudah mendekati sore.
Benar saja, setelah jalan beberapa saat kami langsung menemukan jalan masuk ke hutan yang menuju puncak Gunung Bungkuk.
Layaknya hutan tropis yang lembab, untuk menuju puncak, kami dikelilingi oleh tanaman hutan yang menghalangi masuknya cahaya matahari. Tekstur tanahnya rapuh dan berbatu, serta lumayan miring karena pada dasarnya gunung ini merupakan tebing batu. Untunglah ada akar dan batang kayu yang bisa dijadikan pegangan walaupun terkadang harus berhati-hati sebab tidak semuanya tertanam kokoh.
Mulai terlihatnya angkasa biru membuat kami berasumsi bahwa puncak sudah dekat. Ditambah jalurnya semakin miring dan banyak batu-batu besar yang terasa licin karena hujan. Ada satu tempat di mana tidak ada sama sekali jalan untuk naik kecuali melewati tiga batang kayu yang disandarkan ke dinding batu yang ada. Melihat itu, serta jurang yang menanti di sebelah kiri, hampir membuat saya menyerah. Namun setelah disarankan membuka sepatu, dan didorong oleh kepercayaan diri, saya pun bisa bergabung dengan mereka yang sudah duluan ke atas.
Ketegangan belum berakhir karena masih ada bebatuan terjal yang mesti dilewati. Sama seperti kayu sebelumnya, kami harus naik satu persatu karena tali yang dijadikan pegangan hanyalah tali kecil yang diikat pada pohon yang juga tidak besar. Dan sekali lagi, saya berhasil! Tapi mikir, gimana turunnya nanti.
Mendekati puncak yang sepertinya hanya berjarak sekitar lima meteran lagi, langkah kami terhenti. Dalam hati saya bersyukur, akhirnya selesai juga perjalanan sekitar lima jam ini. Tidak adanya tanda-tanda “alat bantu” naik yang terpasang membuat kami memutuskan untuk cukup sampai di punggung tebing saja.
Saya yang masih memikirkan bagaimana cara turunnya nanti sudah tidak bersemangat mencari jalan ke atas, seperti yang dilakukan oleh salah seorang di antara kami. Dia berhasil berdiri di top of Gunung Bungkuk. Nyali saya sudah susut melihat bentuk tebing yang kami sandari itu, apalagi posisi kami hanya bisa berbaris satu persatu.
Pemandangan yang terbentang memang super indah dengan dominasi warna hijau gelap dan awan pengantar hujan. Kami menikmatinya sambil foto-foto, bahkan ada yang sengaja membuat tulisan yang ditujukan kepada teman atau orang terdekatnya. Sayang, karena posisi berdirinya tidak nyaman, foto-foto yang dihasilkan kebanyakan berada di tempat yang sama.
Setelah merasa cukup menikmati berada di ketinggian, kami pun beringsut turun. Rupanya tidaklah sesulit yang dikira, asalkan bisa bertumpu pada tempat yang tepat. Lucunya, kalau tadi naiknya sering merayap karena medannya memang miring, turunnya kebanyakan ngesot karena selain miring, juga licin dan tidak ada pegangan. Alhasil, baju dan celana ditempeli banyak tanah.
Perjalanan pulangnya terasa lebih lama karena hari sudah gelap dan jalannya licin berlumpur. Sumber penerangan hanya mengandalkan ponsel yang ada senternya. Ada beberapa kali saya terpeleset, bahkan salah satu kaki terjatuh ke dalam kubangan. Hujan yang tiba-tiba turun tidak menghentikan langkah kami untuk terus jalan dan segera pulang.
Betapa lega rasanya ketika berhasil melalui tanjakan terakhir dan bertemu jalanan rata tanpa lumpur dengan tanaman dan rumah-rumah penduduk. Pheeeuw!
Setelah bebersih seperlunya di pancuran yang ada di sebelah rumah Kepala Desa, kami segera menemui beliau yang sudah menunggu di teras. Istirahat dan berbasa-basi sejenak, lalu berpamitan sambil mengucapkan terima kasih. What a day!
Tips:
- Gunung Bungkuk berada di Kabupaten Bengkulu Tengah, tepatnya di Desa Rajak Besi yang bisa ditempuh kurang lebih selama 1,5 jam dari Kota Bengkulu.
- Tidak ada kendaraan umum ke sana, sehingga harus menggunakan kendaraan pribadi.
- Tidak perlu menginap asalkan perjalananya di mulai subuh.
- Bagi yang ingin menginap, mungkin bisa menumpang di pondok-pondok atau rumah penduduk. Mereka sangat ramah dan mau menerima pengunjung.
ituu.. viewnya keren banget XD
Kebayarlah, mak, dengan beratnya medan yang dilalui.
udah lama gak ngegunung lagiii….
salam kenal mak 😀
Saya juga kalo lagi pengen aja, kok. Terima kasih sudah mampir, mak 🙂