Kebingungan di Perbatasan Kamboja dan Thailand

Setelah sebelumnya sukses melintasi perbatasan Vietnam – Kamboja dengan tetap duduk manis di dalam bus, berbeda cerita ketika perjalanan berlanjut dari Kamboja ke Thailand. Dan tidak seperti guide dari Vietnam, dia tidak mengurusi paspor penumpang.

Dari penginapan di Siem Reap, saya dijemput dengan semacam minivan yang muatannya dipadat-padatin. Maksudnya, ada bangku tambahan yang diselip ruang kosong di dalam mobil. Kami ditemani oleh supir dan seorang pemandu yang menjelaskan bahwa mobil ini hanya mengantarkan penumpang sampai ke Poi Pet, ujung Kamboja.

Perjalanannya sekitar dua jam, dengan satu kali berhenti di toko yang menjual suvenir dan makanan. Kesempatan ini saya gunakan untuk ke toilet. Sepanjang perjalanan, pemandangan yang saya lihat cenderung gersang dengan jalanan berdebu karena masih banyak tanah coklat di pinggir-pinggirnya.

Berada di keramaian, semacam pasar, mobil berhenti di dekat bundaran. Guide menyuruh penumpang turun dengan membawa semua bawaan, lalu dia mengarahkan kami ke kantor imigrasi yang ada di seberang jalan. Terlihat jelas, bukan saya sendiri yang kebingungan dengan situasi ini. Saya perhatikan beberapa penumpang juga ada yang saling tolah-toleh mencari tahu apa yang sedang terjadi. Pemecahan masalahnya, yaa ikuti saja arus orang-orang yang satu mobil dengan saya.

Kantor imigrasi di Poi Pet hanyalah bangunan sederhana, yang memiliki loket-loket seperti umumnya penjualan tiket. Kami tidak perlu masuk ke ruangan, cukup mengantri di depan jendela loket. Walaupun ada atapnya, panasnya cuaca tetap saja bikin gerah. Untunglah loketnya ada tiga, sehingga proses pengecapan paspor lumayan cepat dan mudah.

Tidak ada petugas lain yang berdiri di luar loket, yang saya harapkan akan mengarahkan ke tujuan selanjutnya. Di momen-momen bingung ini, saya sengaja menunggu mereka yang semobil dengan saya.

Adalah dua cewek yang satu mobil dengan saya yang saya tegur untuk memastikan apakah tujuan selanjutnya adalah ke gedung yang di ujung jalan sana, yang saya tebak sebagai gerbang masuk ke Thailand. Sama seperti saya, mereka juga ragu, tapi kami tetap saja berjalan lurus ke arah gedung yang ornamen atapnya tampak jelas bergaya Thailand itu. Dalam kebingungan, saya sempat bertanya asal mereka, yaitu dari Inggris dan Kanada.

Tidak begitu panjang jalur yang dilewati, mungkin hanya sekitar 200an meter, dan itu lumayan ramai dengan orang berlalu lalang. Kami berjalan memasuki gedung yang tadi kami lihat. Dan benar saja, itulah kantor imigrasi Thailand, dan nama daerahnya adalah Anyaprathet.

Sebelum masuk dengan melewati tangga ke lantai dua, kami mengambil kartu kedatangan yang ada di meja petugas. Memasuki pintu kaca, terlihat sudah ada antrian yang mengular. Di antaranya ada beberapa wajah yang satu minivan dengan saya dari Siem Reap.

Setelah mengisi kartu kedatangan, saya ikut antri yang ternyata lumayan lama. Ada kali sekitar satu jam saking banyaknya orang. Begitu giliran saya, petugasnya wanita yang ramah, dan berucap “Welcome.” saat mengembalikan paspor saya. Yeay! Officially in Thailand.

Lagi, setelah melewati pintu kaca di belakang counter imigrasi, tidak ada petugas yang berjaga. Jadilah saya menyusuri lorong, mengikuti langkah kaki yang terdengar di kejauhan. Begitu keluar, walah… jalan raya, seperti pasar, dan saya tidak melihat wajah-wajah familiar dengan tujuan yang sama. Berdiam dirilah saya di trotoar, menunggu orang yang tadi berdiri di belakang saya, dan juga sedang menuju Bangkok. Tidak lama, terlihat dua cewek bule tadi, dan lagi-lagi, kami kebingungan tidak tahu mesti kemana. Datang lagi beberapa orang, dan sama saja, no idea.

Ketika sedang berkumpul sambil basa-basi, kami dihampiri seorang pria bertopi yang memegang kertas dan pena. Bangkok… Bangkok! sapanya, lalu memberi kertas kecil merah yang langsung dinomori dan ditempel di dada kami masing-masing. Saya dapat nomor 20. Setelah itu, kami diajak berjalan sedikit, berkumpul dengan beberapa orang yang sudah dari tadi menunggu. Tidak lama, datanglah yang ditunggu, sebuah mobil bak beratap yang bangkunya saling berhadapan. Sekilas, saya bertanya dalam hati, ini kah mobil yang ke Bangkok?

Lady’s first… kata petugas yang tadi memberi nomor. Tanpa banyak tanya saya langsung naik ke mobil dan duduk paling ujung. Kemudian semua ransel penumpang disusun rapi di depan saya. Untunglah backpack saya kecil, jadi bisa dipangku saja. Kami semua diangkut walaupun ada yang harus berdiri, termasuk bergelayutan di pijakan mobil, persis seperti angkutan pedesaan di Indonesia.

Rupanya hanya sebentar. Kami kembali dikumpulkan di loket yang ada penjual nasinya. Di sini saya baru memahami apa yang sedang terjadi. Ooo, jadi ini maksudnya… saya mengingat penjelasan guide dari Siem Reap yang samar-samar saya dengar, tentang proses perpindahan kami dari Kamboja ke Thailand.

Kesimpulannya, mau apapun travel yang kamu booking dari Kamboja ke Thailand, ujung-ujungnya bertemu juga di loket ini. Di sini kami menunggu minivan putih yang akan langsung menuju Bangkok. Yang pergi duluan, seharusnya yang sampai duluan, tapi bisa berubah, seperti kasus saya.

Saat itu saya sendirian dan sedang ngobrol dengan kenalan yang sedang makan. Saya lihat petugas sedang memanggil nomor-nomor penumpang sambil mendekat dan sedikit bertanya apakah mereka siap berangkat. Tanpa diduga, dia mendekati saya, bertanya berapa orang. Langsung saya disuruh ke mobil saat menunjukkan jari telunjuk, padahal saya lihat ada beberapa backpacker tiba lebih dulu daripada saya.

Saya pikir, mobilnya akan lega dan nyaman. Rupanya tanpa AC, dan mungkin karena penumpangnya bule, saya lihat tiga baris di belakang saya, mereka duduk saling bersinggungan bahu. Beruntung saya hanya berdua dengan pejalan asal Korea Selatan di bangku belakang supir. Ini dikarenakan bagian dekat jendela berisi tumpukan ransel penumpang, tapi jarak kita lumayan lega. Dan karena backpack saya kecil, bisa ditaruh saja di dekat kaki yang masih ada ruang buat selonjoran. Di bagian depan, dua orang penumpang lagi, dan supir, tentunya. Total penumpang sekitar 11 atau 12 orang.

Perjalanan ini katanya sekitar tiga sampai empat jaman. Herannya, saya sama sekali nggak ngantuk. Karena excited mungkin, bakal bertemu petualangan baru. Saya perhatikan jalanan yang suasananya tidak berbeda jauh dengan Indonesia. Tepi jalan dipenuhi hamparan hijau sawah, kondisi jalan mulus dan rapi. Ini sangat berbeda jauh dari kondisi jalan di daerah Kamboja yang walaupun beraspal, gersang di kiri-kanannya.

Kami berhenti sekali di pom bensin, dan ada kejadian lucu di sini. Sepertinya, ini adalah pengalaman pertama buat semua penumpang. Ketika mobil sedang mengantri isi BBM, supirnya ngomong Sevhel… Sevhel… dengan aksen Thailand yang seperti orang cadel. Kami tidak ada yang paham, sehingga hanya duduk mematung. Lalu dia turun dan membuka pintu penumpang. Sekali lagi, dia ngomong Sevhel… Sevhel… Karena penasaran, saya yang duduk persis di samping pintu yang dibuka, mencoba memastikan, “Toilet?” Dia pun mengangguk… Langsung terdengar gumaman dan tawa kecil dari arah kursi di belakang saya, diikuti gerakkan kami yang bersiap keluar.

Setelah pipis saya baru ngeh, Mhmmm, mungkin tadi maksudnya Sevel, mini market yang ada di sebelah toilet. Hahah…dasar. Tapi emang wajar, sih, penumpang disuruh turun, ngantri BBM-nya lumayan lama. Dan ini sepertinya berlaku untuk semua angkutan, karena di sekitar 7/11 ramai dengan mereka yang menunggu kendaraan.

Setelah itu kami kembali melanjutkan perjalanan. Di sepanjang jalan saya perhatikan supirnya, dia tidak berbicara sama sekali. Menyupirnya pun tenang. Sayangnya, rencana bertemu host saya pada sekitar jam 5 sore, gagal total karena lalu lintas Bangkok yang padat merayap. Kami baru sampai di areal Khao San Road sekitar jam 7 malam. Bergegas saya mencari money changer.

3 Replies to “Kebingungan di Perbatasan Kamboja dan Thailand”

Leave a Reply to Relinda Puspita Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *