Sampah makanan, ternyata, punya dampak besar, baik bagi seseorang, maupun lingkungan. Sebuah tayangan menyadarkan saya.
Hampir setiap hari seorang pria masuk ke ruangan atasannya untuk mengambil piring bekas makan. Selalu ada sisa yang bagi si Bos, mungkin, tidak membuatnya berselera lagi. Tapi, tidak bagi pria itu.
Suatu hari, si Bos melewati ruangan karyawannya. Langkahnya terhenti begitu melihat pria yang setiap hari membersihkan ruang kerjanya sedang menyantap makanan yang tadi tidak dihabiskannya.
Keesokan harinya, seperti biasa, pria itu mengantarkan makanan pesanan atasannya. Beberapa lama kemudian dia kembali untuk mengambil piring kotor di ruangan. Tapi, kali ini dahinya berkerut. Ragu, apakah piring tersebut bisa diambil.
Tanpa perlu melihat wajah pria yang berada di samping mejanya, Pak Bos bergeming. Lalu perlahan mengangkat kepala.
Tetap ada sisa nasi di atas piringnya, tapi terbagi dua. Bagiannya dia habiskan, setengahnya sengaja dibiarkan dalam keadaan rapi.
Keduanya saling tatap. Si bawahan membalas senyum atasannya.
Table of Contents
Dampak Negatif Sampah Makanan
Pada tahun 2011, FAO (Food and Agricultural Organization) memperkirakan bahwa sekitar 1/3 makanan di dunia berakhir sebagai sampah setiap tahunnya. Sebuah ironi di tengah krisis pangan yang melanda dunia, ketika masih ada masyarakat yang hidup dalam kelaparan dan kekurangan sumberdaya alam.
Oleh sebab itu, persoalan ini menjadi 1 dari 17 tujuan pembangunan berkelanjutan hingga tahun 2030 (Sustainable Development Goals/ SDGs). Setiap negara didorong melakukan efisiensi pengelolaan dan penggunaan sumberdaya demi terciptanya pola konsumsi berkelanjutan.
Masalah pangan tercantum dalam SDGs nomor 12, yaitu konsumsi dan produksi yang bertanggungjawab. Ketika masih banyak penduduk dunia belum mendapatkan kebutuhan dasar yang layak, sebagian orang malah menyia-nyiakannya. Oleh sebab itu, mengurangi sisa makanan dari pedagang dan konsumen dianggap penting untuk menciptakan produksi dan rantai pasokan yang efisien.
Saat kita gencar memerangi sampah plastik atau nonorganik, ternyata limbah organik berupa sisa makanan sama berbahayanya. Efeknya bahkan bisa langsung dirasakan, tidak cuma mengancam lingkungan, tapi juga meresahkan secara ekonomi dan sosial.
1. Dampak Lingkungan
Mari berpikir receh sejenak, tanpa mengesampingkan efek jangka panjangnya. Mana yang lebih mengganggu secara langsung, aroma sampah makanan, atau sampah kemasan makanan?
Penumpukan sampah organik, misalnya di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), dapat menghasilan gas metana (CH4) yang bau dan lebih berbahaya dari gas karbondioksida (CO2). Gas metana akan menimbulkan emisi gas rumah kaca yang berdampak pada perubahan iklim.
Tidak ada yang menyangka, pada tahun 2005 pernah terjadi tragedi ledakan di TPA Leuwi Gajah. Penyebabnya adalah gas metana yang dihasilkan oleh gunungan sampah organik. Bukan perbuatan teroris.
2. Dampak Ekonomi
Menyisakan makanan berarti menyia-nyiakan sumberdaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan hidangan tersebut. Bayangkan betapa panjang proses terjadinya makanan.
Dimulai dari bibit yang ditanam, dipelihara, dipanen, lalu didistribusikan. Berapa banyak biaya dan tenaga kerja yang dikerahkan untuk melakukan hal tersebut?
Ditambah lagi dengan proses bahan makanan yang harus diolah menjadi makanan siap santap. Eeh, malah disia-siakan.
3. Dampak Sosial
Siapakah kamu pada cerita di atas? Si bos atau si pramubakti?
Ternyata, ketika kita menyisakan makanan dengan alasan kenyang atau tidak berselera lagi, ada jutaan orang yang tidur dengan perut lapar setiap harinya.
Saya juga pernah menonton klip tentang orang-orang yang bergantung hidup pada tumpukan sampah hasil buangan restoran. Mereka mengais demi menemukan sisa-sisa makanan yang masih bisa dinikmati.
Misalkan dia mendapatkan sepotong daging ayam yang terlihat masih baik, daging itu dicucinya lalu dimasak lagi dengan menambahkan beberapa bumbu untuk dimakan oleh seisi rumah.
Entah ada berapa orang yang hidupnya begitu setiap hari. Kalau ini terus dibiarkan, entah kapan persoalan gizi buruk atau stunting akan terselesaikan.
Potensi Sampah Makanan
Miris, Sebuah laporan dari The Economist dan Intelligence Unit berjudul Fixing Food: Towards a More Sustainable Food System, keluaran Barilla Center for Food and Nutrition, menyatakan bahwa Indonesia menempati urutan ke-2 setelah Arab Saudi sebagai produsen sampah makanan terbanyak di dunia. Diperkirakan, setiap 1 orang menghasilkan 300 kg limbah makanan setiap tahunnya.
FAO juga menyebutkan bahwa Indonesia menghasilkan 13 juta ton sisa makananan per tahun. Angka tersebut setara dengan 500 kali berat Monas, yang diperkirakan mampu memberi makan 28 juta orang. Jumlah yang fantastis, apalagi di masa sekarang!
Sumber sampah makanan bisa terjadi akibat aktivitas pribadi, rumah tangga, dan usaha, seperti rumah makan/ restoran. Beberapa aktivitas yang berpotensi menghasilkan sampah makanan adalah:
1. Perencanaan
Belanja berlebihan tanpa daftar jelas, cuma dengan alasan “Kayaknya nanti gua pengen masak ini dan itu” atau takut makanannya kurang karena mengundang tamu, adalah contoh tidak matangnya perencanaan sebelum mengolah makanan. Jujur, deh, dari semua yang dibeli, apakah semuanya habis terpakai?
Pengalaman pribadi, nih, selalu ada yang dibuang. Penyebabnya karena bahan makanannya batal dimasak, hanya digunakan sebagian, atau malah tidak digunakan sama sekali tanpa tahu kapan akan diolah. Bisa juga karena hidangan yang disajikan, masih bersisa.
2. Penyimpanan
Ketika bahan makanan sudah dibeli, terkadang kita lalai memeriksa masa pakainya dan bagaimana perlakuannya, apakah disimpan di suhu ruangan, atau harus di dalam kulkas. Begitu akan digunakan, bahan tersebut sudah busuk, basi, atau berjamur.
Bisa juga, pada penganan tertentu, karena lupa menutup erat wadah penyimpanan, misalnya toples kerupuk dan keripik. Pas mau mau dimakan, eeh, lempam. Otomatis nggak nikmat lagi, dan dibuang.
3. Konsumsi
Ketika merasa lapar, entah setelah puasa atau memang telat makan, sebagian orang merasa harus ‘balas dendam’ dan kalap menyantap atau memesan makanan favoritnya. Begitu dimakan, eeh, cuma separuhnya.
Mencari Solusi bersama Bandung Food Smart City
Berangkat dari keprihatinan yang disebabkan oleh limbah makanan, Bandung mencanangkan gerakan Bandung Food Smart City. Ini merupakan gerakan bersama para pemangku kepentingan di Kota Bandung, termasuk juga Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat, pengusaha dan berbagai komunitas.
Mereka memiliki kepedulian pada isu produksi dan konsumsi pangan yang bertanggung jawab demi keberlangsungan bumi. Fakta dan ironi, ketika sampah makanan menumpuk, ada mereka yang hidup dalam kelaparan, kemiskinan, dan mengalami gizi buruk.
Bandung Food Smart City (BFSC) gencar mengadakan kegiatan untuk menyadarkan masyarakat tentang efek samping sampah makanan, baik pada individu maupun badan usaha. Dua program besar yang telah dilaksanakan di antaranya adalah:
1. Melakukan riset mengenai produksi dan konsumsi pangan bertanggungjawab dan berkesinambungan, seperti bagaimana perlakukan pada makanan sisa yang masih layak makan.
Hal yang bisa dilakukan baik oleh rumah tangga maupun restoran dan hotel adalah menyimpannya di lemari pendingin, memberikan diskon harga pada produk yang mendekati masa kadaluarsa, dibagikan gratis kepada yang membutuhkan, dan diolah menjadi pakan ternak. Pada bahan makanan yang memang harus dibuang, tetap diusahakan untuk didaur ulang.
Riset terus dilakukan untuk mencari solusi paling efektif dari permasalahan limbah makanan. Salah satunya, menjalin kerja sama dengan Pemerintah Kota Bandung dan berbagai pihak untuk meningkatkan urban farming karena keterbatasan lahan di wilayah perkotaan. Selain itu ada pula riset mengenai value chain dan eco-labelling.
2. Edukasi dengan memanfaatkan teknologi informasi dan gamifikasi pada anak sekolah. Salah satu contohnya adalah online game berbasis iOS mengenai food waste awareness.
Selain itu, permainan food racing diperkenalkan kepada siswa SMA yang merupakan generasi milenial. Melalui permainan ini, diharapkan mereka sadar akan pentingnya gaya hidup anti-food waste.
Tidak ketinggalan, edukasi secara online dengan memanfaatkan media sosial dan melibatkan para influencer. Berbagai kegiatan digelar untuk membiasakan generasi muda dengan gaya hidup minim sampah makanan dengan menerapkan konsep: ambil makanan secukupnya, makan, dan habiskan!
BFSC juga memperluas jaringan agar lebih banyak masyarakat yang sadar dan berpartisipasi. Sebuah laman situs dibuat supaya masyarakat dapat mendonasikan makanan kepada orang-orang yang membutuhkan.
Sebagai salah satu destinasi wisata kuliner di Indonesia, Bandung berpotensi besar menghasilkan sampah makanan. Kenyataan ini makin diperparah sejak pandemi menerjang kencang sektor pariwisata. Banyak pengusaha kuliner yang kebingungan menyalurkan makanan yang tidak habis terjual.
Bandung Food Smart City, Pemkot Bandung, dan Forum Badami hadir membangkitkan semangat gotong-royong warga di masa sulit ini. Mereka menjembatani orang-orang yang ingin menyalurkan makanan kepada warga yang membutuhkan, sebagai upaya mewujudkan Bandung sebagai kota cerdas pangan, bebas sampah makanan.
Lebih jauh lagi, sebagai bukti nyata komitmen Kota Bandung menanggulangi persoalan ini, pemerintahnya resmi menjadikan Kota Bandung sebagai kota pertama di Asia Tenggara yang terdaftar sebagai anggota Milan Pact atau Milan Urban Food Policy Pact (MUFPP).
The MUFPP is an international agreement among cities committed to develop urban food systems that are sustainable, inclusive, resilient, safe and climate friendly, that provide healthy and affordable food for all.
Memang sampah makanan telah menjadi isu serius di Indonesia, bahkan dunia. Tapi Bandung tidak tinggal diam.
Semoga apa yang dilakukan Bandung Food Smart City untuk Kota Bandung, menjadi teladan bagi kota-kota lain di Indonesia. Yuk, bisa, yuk! Jadikan kota kita bebas sampah makanan!
Referensi:
- https://www.youtube.com/watch?v=g5WQjPwqNr8&t=364s
- http://www.fao.org/food-loss-and-food-waste/flw-data)
- http://sdgs.bappenas.go.id/
- https://www.gainhealth.org/milan-urban-food-policy-pact-mufpp
- https://www.dbs.com/spark/index/id_id/site/articles/livemorekind/2020-fakta-sampah-makanan-setara-dengan-27-triliun-rupiah.html
- https://www.amritaenviro.com/file/download/7538465newsletter%2033.vi.2019.pdf
- https://foodsustainability.eiu.com/wp-content/uploads/sites/34/2016/11/Barilla-Fixing-Food.pdf
- https://sdgs.un.org/goals/goal12