Kalau saja ayahnya hanya memberikan tas kain lantung sebagai hadiah, tanpa dibarengi sebuah tantangan, seorang Alfira Oktaviani, mungkin, hanya dikenal sebagai pengrajin ecoprint biasa. Namun tantangan itu memacu semangatnya untuk berkreasi, bahkan membuatnya ingin melestarikan warisan leluhurnya.
Table of Contents
Tentang Alfira Oktaviani
Terlahir dari ayah berasal dari Bengkulu, dan ibu berdarah Yogyakarta, Fira tidak pernah menetap di Bengkulu. Dia lahir dan menjalani kehidupannya di kota berjuluk Kota Gudeg itu.
Fira memiliki hobi membuat kerajinan tangan. Seperti anak muda lainnya, dia kerap mencari inspirasi melalui sosial media. Sampai akhirnya dia mengenal seni ecoprint.
Seperti pepatah, dari mata turun ke hati, Fira pun tergerak untuk mendalami metode ecoprint. Menurutnya, itu seperti membatik, tapi lebih unik dan kekinian, serta masih jarang di Jogja.
Setelah mengikuti workshop tentang ecoprint, ia berusaha mengembangkan ilmu yang telah dipelajarinya. Selain sisi bisnis yang juga dipelajarinya, teknik ecoprint juga sejalan dengan latar belakang pendidikannya, Jurusan Farmasi.
Perlahan, Vira mulai membangun usahanya dengan membuat produk kerajinan dengan motif ecoprint. Tanpa malu, dia mengumpulkan dedaunan yang cocok untuk ecoprint. Produk yang dihasilkan berupa aksesoris fashion, seperti tas, atasan, dan aneka suvenir.
Terkenang tantangan ayahnya, untuk mempercantik tas berbahan kain lantung yang diterimanya sebagai hadiah, Fira mulai mencari tahu tentang kulit kayu yang banyak ditemukan di Provinsi Bengkulu itu.
Kain lantung memang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Bengkulu untuk membuat produk kerajinan. Namun terkesan biasa saja karena tidak ada inovasi pada warna cokelat polosnya.
Oleh Alfira Oktaviani, kulit kayu yang resmi secara nasional disebut kain lantung itu, dijadikan media ecoprint. Setelah beberapa kali percobaan, dia pun menemukan formula yang tepat, bagaimana mengolahnya menjadi produk seni yang lebih bernilai, sejalan dengan konsep fashion berkelanjutan yang ramah lingkungan.
Bukan Fira saja yang merasakan manfaat dari usahanya ini, tapi juga warga, khususnya para wanita, di sekitar tempat tinggalnya. Mereka tidak hanya kerap membantu proses pembuatan produk, tapi juga antusias menanam tanaman yang daunnya bisa dipakai untuk proses ecoprint.
Hal itulah yang membuat Fira berhasil menjadi salah satu sosok inspiratif Bidang Kewirausahaan pada ajang SATU Indonesia Awards 2022 yang diselenggarakan oleh PT ASTRA International Tbk. Selamat.
Tentang Kain Lantung
Kain lantung sebenarnya adalah lembaran kulit kayu. Pohonnya masuk dalam kategori sukun-sukunan (Artocarpus elasticus), namun bahasa lokalnya dikenal sebagai pohon terap atau tekalong.
Tanaman ini tumbuh liar di dataran rendah hingga di ketinggian 1.500 mdpl. Pohon ini menghasilkan buah yang bisa dikonsumsi, sementara daun dan kulit batangnya dipercaya berkhasiat sebagai obat.
Pohonnya bergetah, berfungsi untuk menjaga serat kayu agar teksturnya elastis. Oleh karena sifatnya yang fleksibel itulah, kulit kayu ini bisa diolah menjadi kain.
Konon, pada masa penjajahan Jepang, kain lantung dimanfaatkan masyarakat sebagai sarung dan selimut. Bahkan karena keterbatasan tekstil pada masa itu, ada juga yang menjadikannya sebagai bahan pakaian.
Lantung sendiri diambil dari bunyi “tung tung”. Berasal dari suara pukulan yang keluar saat kulit kayu dipukul-pukul agar melebar dan tipis, untuk diproses lebih lanjut.
Ketika dikuliti dari batangnya, bagian yang diambil adalah lapisan dalam yang basah karena masih mengandung banyak getah, dan warnanya kecokelatan. Semua bagian kulit kayu itu akan dipukul-pukul hingga pipih, sebelum akhirnya tiba di tangan para pengrajin.
Proses pembuatan selembar kulit kayu menjadi sehelai kain cukuplah ringkas. Kulit kayu terap yang telah dikupas itu dipukul-pukul dengan alat yang disebut perikai. Terbuat dari kayu, berbentuk spiral, dan berukuran 40 x 10 cm.
Proses pemukulan dilakukan berulang-ulang hingga lembaran kulit kayu melebar dan lembut, persis seperti kain. Kia-kira berukuran satu meter persegi.
Kebutuhan Fira akan kain lantung, membawanya terbang jauh ke Desa Papahan, Kabupaten Kaur yang berjarak sekitar 250 km dari Kota Bengkulu, ibuka Provinsi Bengkulu. Dia bertemu para pembuat kain lantung dan belajar mengenai pohon yang bisa diambil kulit kayunya, hingga proses pembuatan kain lantung itu sendiri. Semua serba manual, menggunakan tangan manusia.
Motif Ecoprint pada Kain Lantung
Melalui proses ecoprint kain lantung yang masih berwarna kecokelatan itu bisa berubah lebih terang dengan tekstur yang lebih halus. Prosesnya dimulai dari perendaman dengan cairan khusus.
Setelah itu kain dikeringkan, dan dibentangkan di lantai atau di meja. Dedaunan yang dipercaya akan mengeluarkan warna cantik nan kontras ditata atasnya.
Kemudian kain yang sudah penuh daun itu ditutup kain putih. Keduanya dilipat dan digulung menggunakan sebuah kayu, lalu diikat kencang, dan dikukus selama dua jam.
Setelah dikeuarkan dari kukusan, kain dibersihkan dari daun-daun yang motifnya telah tercetak pada kain, sesuai warna alaminya masing-masing. Terakhir, kain dijemur, dan segera bisa dijahit, sesuai desain dan pola yang telah disiapkan.
Terkadang, Fira juga memberi sedikit warna pada motif kainnya agar terlihat lebih cantik. Sesuai dengan niatnya yang ingin menjadikan produknya ramah lingkungan, pewarna yang digunakan adalah pewarna alami.
Mengusung brand Semilir Ecoprint sejak 2018, kain lantung motif ecoprint bisa didapatkan dalam wujud tas wanita, dompet kecil, sampul paspor, dan pernak-pernik lain yang bisa dipesan khusus.
Melestarikan Kain Lantung sebagai Warisan Budaya
Kain lantung telah ditetapkan sebagai warisan budaya takbenda, kategori kemahiran dan kerajinan tradisional dari Provinsi Bengkulu, sebagaimana Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 186/M/2015 tentang Penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia Tahun 2015.
Sayangnya, sebagai warisan budaya, masih banyak masyarakat Bengkulu yang belum terbiasa dengan produk berbahan kain lantung ini. Bahannya memang tidak banyak dijual di pasaran.
Hal itu bisa saja disebabkan karena peminatnya memang kurang, atau bisa jadi karena keberadaan pohon terap yang semakin sukar ditemukan.
Saat ini, Fira hanya memesan kain lantung dari Desa Papahan, Kaur. Pemesanan itu pun, disesuaikan dengan kebutuhannya.
Memadukan warisan budaya Indonesia pada setiap produknya, adalah impian Fira sebagai pengrajin lokal. Ingin mengenalkan kain lantung motif ecoprint, tidak hanya di Indonesia, tapi juga secara global, adalah caranya melestarikan budaya leluhurnya.
Referensi:
- https://pariwisataindonesia.id/budaya-dan-sejarah/kain-lantung-oleh-oleh-khas-bengkulu-yang-wajib-diburu/
- Instagram @semilir_ecoprint