Ruangan sejuk yang kalau dari luar tampak seperti tenda raksasa berwarna putih itu sedang berkemas. Di dalamnya terlihat sekat-sekat putih terbuat dari triplek, menandakan batas kepemilikan. Empunya tentu saja para wirausahawan atau instansi pemerintah. Mereka sedang bersiap untuk memamerkan produk dan kinerjanya.
Kehadiran tenda putih itu adalah penanda bahwa di sinilah lokasi rangkaian acara Festival Bumi Rafflesia 2018, yaitu di Sport Center Pantai Panjang, Bengkulu, dari tanggal 19 hingga 23 Juli 2018. Siang itu, saya sedang menemani kawan yang oleh atasannya diminta datang ke lokasi melihat persiapan stan kantornya. Tak sengaja, mata genit ini menangkap helaian kuning beraksen biru yang bergelantungan di langit-langit.
Perhelatan ini rupanya mengangkat tema Bengkulu Expo INAFACT 2018. Tulisan kecil dibawahnya menjelaskan bahwa INAFACT merupakan singkatan dari investment, fashion, craft, and tourism.
Mhm, bakal ramai, nih, pikir saya. Sudah terbayang akan mendapatkan rujukan destinasi wisata di Bengkulu. Pasti banyak yang bisa dilihat dan dijadikan bahan tulisan blog. Siapa tahu banyak pernak-pernik unik juga yang bisa dibeli. Tapi… tendanya, kok, kecil. Biasanya, paling tidak, areal bazar ini dua kali tenda yang sekarang. Yang ini, sekali putaran saja sudah selesai. Tidak sampai sejam, malah.
Di bagian luar ada panggung besar untuk pentas seni. Di sisi lain berisi barisan para pengusaha kuliner. Tenda berlogo kedai kopi berjejer di sini. Pengunjung bisa membeli kopi kemasan atau minum di tempat yang sengaja disediakan, bahkan ada panggung musiknya.
Besoknya saya ke sana lagi bersama teman segank. Beberapa hari kemudian saya bertanya kepada beberapa teman yang sudah ke sana, termasuk orang tua saya. Rata-rata komentarnya mirip.
“Cuman segini? Kirain rame…”
“Masih cak lamo tulah… Dak berubah… Itu-itu ajo yang ado…”
“Tapi mendinglah… Ado tempat kongkow di luar… Ado stan kopinyo.”
“Dakdo yang menarik…”
“Dak ado yang pacak dibeli. Paling nyubo minumannyo.”
Mhm… setuju, sih, sama mereka semua. Meskipun Sekretaris Dinas Pariwisata Provinsi Bengkulu, Bapak Januar Jumaliansyah, menyatakan acara ini merupakan ajang promosi pariwisata Provinsi Bengkulu, kesannya sama seperti gelaran biasa yang rutin diadakan di tempat ini. Aroma-aroma pamer potensi budaya dan pariwisatanya tidak menyeruak tajam.
Dinas Pariwisata Provinsi sendiri, hanya memajang para pengrajin besurek di pintu depan. Ketika mereka rehat, pengunjung bisa berfoto sambil pura-pura sedang membatik. Penyedia paket wisata atau operator, sama sekali tidak tampak.
Tidak jelas, apakah ada deskripsi tentang proses melukis kain putih polos itu. Boro-boro gambaran yang ditunjang audio visual mengenai potensi pariwisata yang bisa menarik minat turis, apalagi investor, ke sini. Sayang, adik-adik mantan ajang pemilihan duta wisata kurang diberdayakan, padahal, mungkin mereka sudah menghapal tentang produk-produk unggulan yang bisa mendukung pariwisata di Bengkulu.
Pengunjung yang pulang, akhirnya, seakan tidak membawa kenangan apa-apa dari eksibisi ini meskipun ada rangkaian kegiatan seperti Festival Kopi, Festival Kuliner, Kompetisi Seni Lukis, Pagelaran Seni Budaya, serta Kampung Batik Basurek. Kesan yang tampak hanyalah tempat yang berisi deretan pedagang makanan, minuman, aksesori, dan batik, dan panggung untuk acara pembukaan dan penutupan.
Sebagai warga Bengkulu, saya sudah mendengar banyak tentang alternatif tempat mengisi hari libur di Bengkulu. Tapi bagi pendatang dari luar kota, bagaimana mereka bisa tahu? Saya sempat melihat pengunjung bule yang celingak-celinguk dari luar booth peserta. Mau mampir, mungkin, kurang paham isinya. Bagian panggung pun, tidak ada tanda-tanda bahwa di sana ada banyak pertunjukan.
Berpijak dari maksud yang ingin dicapai, bayangan saya tentang event ini adalah arena yang menggugah rasa ingin tahu pengunjung tentang objek wisata terkini di Bengkulu. Pun tempat memanjakan lidah dengan berbagai menu khas Bengkulu, serta spot untuk lebih mengenal seni budaya daerah.
Sebut saja Kabupaten Rejang Lebong, beberapa tahun terakhir ini, kan, semakin memikat dengan kebun-kebun bunganya, bahkan diagendakan sebagai lokasi Flower Garden Festival. Seandainya ada sekelumit video atau gambar tentang kondisi terbaru taman-taman itu, mungkin bakal ada pengunjung yang langsung tergerak hatinya ke sana.
Ada pula Kabupaten Kaur yang menyimpan surga kecil bernama Pantai Laguna dan Pantai Linau. Cuma di sana ada pantai berpasir putih dengan air biru muda yang jernih di Bengkulu ini. Seumpama ada stan berisi informasi “Bisa Ngapain aja di Kaur”, dan tentang wisata kulinernya yang unik, yaitu sate gurita, siapa tahu akan memancing pengunjung menyusun rencana ke sana. Apalagi, kabarnya akhir Juli ini ada Festival Gurita.
Memang, daya tarik wisata bukan melulu destinasi. Tapi faktanya, apa, sih, yang membuat orang terbang mahal-mahal ke Papua? Atau road trip berhari-hari di Flores? Bukan makanan atau budaya semata, kan? Mereka mau ke Raja Ampat padahal bukan untuk diving. Mereka mau ke Flores karena ingin melihat komodo dan menatap Danau Kelimutu yang ada di uang kertas 5000. Mereka ingin memanjakan mata dan memperkaya pengalaman.
Konsep ini yang harusnya dipegang pemerintah daerah jika ingin memajukan sektor pariwisata Bengkulu yang berdaya saing. Ketika berniat melakukan promosi wisata, ya, keunikan objeknya yang ditonjolkan.
Areal festival yang luas itu harusnya berisi…
1. Semacam miniatur atau foto-foto dan video terbaru tentang sudut-sudut menarik di Bengkulu. Pengunjung yang datang seakan dibawa ke lokasi tersebut. Harapannya, sebelum keluar ke parkiran, kepala mereka sudah merancang trip ke sana.
Apalagi… ini harusnya menjadi kesempatan emas bagi Bengkulu, khususnya Kabupaten Bengkulu Tengah dan Kota Bengkulu untuk menggalang voting sebanyak-banyaknya bagi dua objek wisatanya yang masuk nominasi Anugerah Pesona Indonesia Award: Rumah Pengasingan Soekarno sebagai Situs Sejarah Terpopuler, serta Bukit Kandis sebagai Wisata Olahraga dan Petualangan Terpopuler.
2. Pertunjukan dan pengenalan seni budaya lokal dari berbagai daerah di Bengkulu. Seni yang ditampilkan bukan sekadar tontonan, tapi juga melibatkan pengunjung, misalnya ada sesi singkat belajar tari, teknik dasar memukul dol, workshop membatik, praktik masak, atau pengenalan bahasa daerah. Namanya festival, kan, harus ramai, dan ada interaksi.
Tak heran, ketika pertunjukan seni tari, atau saat unjuk penganan khas lokal, penonton sepi, paling cuma teman-teman para pengisi acara. Saya yakin, ini karena banyak yang tidak tahu ada aktivitas ini. Ke depannya, ada baiknya memasang banner raksasa berisi jadwal kegiatan selama festival berlangsung. Kalau bisa, jangan di lokasi saja, tapi di beberapa titik strategis di Bengkulu, dan diletakkan sebelum hari H.
3. Pelaku usaha, seperti agen travel, operator, pengelola tempat wisata, pengrajin, produsen kuliner, serta komunitas seni dan yang terkait pariwisata. Mereka inilah ujung tombak yang mengenalkan produk wisata Bengkulu, misalnya dengan menyediakan berbagai paket wisata, dan menebar informasi tentang spot foto, jajanan, dan aktivitas seru lainnya di Bumi Rafflesia ini.
Di era digital sekarang, wisatawan itu, secara tidak langsung, adalah agen pemasaran daerah. Hari gini, yang namanya jalan-jalan, tidak bisa lepas dari dokumentasi. Masyarakat, khususnya generasi milenial, hampir semuanya punya media sosial. Spot yang dianggap instagrammable adalah magnet bagi mereka. Seandainya mereka datang ke salah satu objek wisata, lalu diunggah ke linimasanya, kemudian viral sehingga banyak yang ingin berkunjung, apakah itu bukan promosi, namanya.
Bicara soal promosi, satu hal lagi yang menjadi catatan saya mengenai perhelatan yang masuk sebagai calender of event Bengkulu ini adalah informasi mengenai Festival Bumi Rafflesia 2018 tidak gencar. Buktinya, stan bazar yang didominasi intansi pemerintah. Jangankan dari luar provinsi, dari kabupaten/ kota di Bengkulu saja, hanya sedikit yang berpartisipasi. Lalu, minimnya pilihan jajanan yang didominasi kopi. Apakah ini karena penyelenggaraannya bagai tahu bulat, alias digorengnya dadakan? Atau mungkin sewa stannya yang kemahalan? Entahlah.
Sebagai daerah yang baru beberapa tahun belakang ini menggeliat di sektor pariwisata, biarlah festival kali ini dianggap sebagai proses belajar. Semoga Festival Bumi Rafflesia di tahun mendatang terlaksana lebih variatif dan memikat. Mari kita persiapkan segala sesuatunya dari sekarang!
Referensi:
- https://bengkuluekspress.com/festival-bumi-rafflesia-ajang-promosi-pariwisata/
- https://bengkuluprov.go.id/festival-bumi-rafflesia-tahun-2018-resmi-ditutup/
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog Festival Bumi Rafflesia bersama Blogger Bengkulu dan Cari Bengkulu
Setuju mbak inda..pengunjung seakan gak dapat apa2. Apalagi harganya yang wow, gak jd saya beli craft nya..heheh *salah sendiri berkantong tipis.
Ditawar, gak, harganya?
Aku cukup kenyang di stand kuliner lhas Bengkulu. meski satu porsi agak lebih mahal dari kedai nasi padang
Wah lengkap banget ulasannya mbak. Untuk mbak relinda yang sudah berkali-kali ikut pameran sudut pandangnya sudah berbeda dari fira yang sekali dua kali ke pameran itu saja hanya yang di Kota Bengkulu.
Semoga tahun depan lebih terorganisir dan ramai ya mbak ;D Fira baru ngeh juga sih untuk cemilan sepertinya kurang banyak, jadi minum kopi doang deh hehe
Nggak juga, Fir. Itu cuma berdasarka pengalaman aja pas ke sana.
Siap, Mbak.
Semoga kedepannya kita menjadi lebih baik lagi kedepannya… kunjungi balik blogku ya