Masih ingat, pagi itu, seakan mimpi, akhirnya saya bisa menginjakkan kaki di Tana Toraja. Destinasi ini sudah melekat di ingatan sejak di bangku sekolah. Buku pelajaran IPS mana yang tidak menceritakan tentang kuburan batu khas Suku Toraja.
Begitu turun di persimpangan yang menuju Lapangan Bakti di Rantepao, saya tengok ke sekeliling. Hawa sejuk membelai wajah kurang tidur saya. Semburat senyum terukir di wajah. Akhirnya… ucap saya dalam hati.
Bergegas saya melangkah menuju Lapangan Bakti, karena kata seorang kenalan, di dekat lapangan itu ada banyak tempat penyewaan motor. Toraja memang lebih menyenangkan untuk disusuri dengan mengendarai motor.
Syukurlah, sudah ada penyewaan motor yang buka pagi itu. Si pemilik penyewaan menyarankan agar saya membagi rute perjalanan menjadi Toraja Utara dan Selatan.
Hari Pertama: Enjoy Toraja
Sesuai arahan pemilik penyewaan motor, destinasi pertama adalah Pasar Bolu. Saya datang di hari yang tepat, karena pasar ini hanya ada setiap Selasa dan Sabtu.
Makin lebar sumringah di wajah saat mendengarnya. Sudah terbayang bakal ada kerbau bule khas Toraja yang konon harganya mencapai ratusan juta rupiah
Sebelum berangkat, saya memang bertekad bisa melihat kerbau bule. Kalau bukan di pasar kerbau ini, entah di mana saya bakal menemuinya.
Dari kejauhan sudah terlihat hewan incaran saya itu. Warna tubuhnya putih kemerahan seperti albino. Paling beda di antara kerbau yang ada. Di sekitarnya ada juga yang albino, tapi hanya di sebagian badan.
Perlahan saya mendekat, tidak berani menyentuh hewan istimewa itu. Begitu saya tanya harganya, wow! Semua tabungan saya belum cukup untuk membelinya.
Setelah mengisi perut dan bertemu kawan sejenak, saya melajukan motor ke Buntu Burake. Bagi umat Nasrani, bisa dibilang, ini destinasi wisata religi di Toraja.
Selain ingin melihat keindahan Toraja dari atas bukit, di bawah kaki patung Yesus, saya ingin menjajal lantai kaca yang membentang kokoh di atas jurangnya. Tidak seseram yang dibayangkan, ternyata. Super aman.
Hari merangkak melewati siang, saya berencana beristirahat di penginapan di daerah La’bo. Saya ingin menikmati suasana rumah tradisional milik warga asli yang telah berusia ratusan tahun itu.
Di tengah jalan, saya membelokkan motor menuju Kambira, pemakaman pohon yang dulunya diperuntukkan bagi bayi yang meninggal. Saya berpacu dengan waktu agar tidak kemalaman tiba di penginapan yang belum saya ketahui lokasinya.
Tapi, mumpung di Toraja, saya ingin melihat semua tempat yang dulu pernah ada di buku pelajaran. Perjalanan ke Toraja ini, seperti mimpi yang menjadi kenyataan buat saya.
Aaah… akhirnya saya melihat dengan mata kepala sendiri wujud kuburan pohon itu. Sebagian sisi batangnya ditutupi ijuk yang merupakan lubang, tempat bayi dikuburkan. Tapi, hal tersebut sudah lama tidak dipraktikkan lagi oleh warga.
Hanya satu pohon yang saya lihat. Pohonnya diberi pembatas pagar, dan menjadi bukti bahwa Toraja memiliki budayanya sendiri.
Sayangnya, dari teman orang Toraja, saya mendengar bahwa sekarang, pohon ini sudah tidak ada lagi karena terbakar.
Hari Kedua: Sesaat di Toraja Utara
Hari terakhir ini saya bertekad mengunjungi semua kuburan batu yang dulu dikisahkan dalam buku pelajaran SD. Tapi sebelumnya, saya ingin menikmati udara pagi di Lolai, Negeri di Atas Awan, spot wisata terkini di Toraja.
Setelah sarapan dan berpamitan, rute pertama yang saya singgahi adalah Kete Kesu. Lokasinya hanya beberapa menit dari penginapan. Kesampaian juga melihat langsung deretan tongkonan yang sebelumnya cuma saya lihat di televisi dan kalender.
Antara senang dan menyayangkan, ingin rasanya menambah hari di Toraja. Ketika saya ke Kete Kesu, tempat itu sedang dihias untuk persiapan pernikahan anggota keluarga pemilik Kete Kesu, jadi foto-fotonya ‘bocor’, nggak bersih kayak difoto orang-orang di Instagram. Hehehe…
Tapi, kata ibu-ibu yang saya temui di sana, saya boleh datang besok, karena tempat itu memang tetap dibuka untuk umum, meskipun sedang ada acara adat. Makanya, wisatawan yang datang, boleh ikutan.
Di sini pula, akhirnya saya melihat makam batu untuk pertama kalinya. Anehnya, meskipun melihat tumpukan peti mati dan rangka manusia berserakan, saya tidak merinding ketakutan. Saya melihatanya sebagai tradisi yang normal terjadi, khususnya di Toraja.
Melihat komplek pemakaman batu kecil itu, tidak sabar saya menuju Lemo dan Londa. Inilah dinding batu yang selalu ada di buku pelajaran sejarah.
Sekali lagi, jauh dari rasa takut. Saya bahkan masuk beberapa langkah ke gua di Londa. Peti dan tengkorak berserakan di tanah. Tapi tetap, saya melihatnya sebagai sebuah budaya.
Penelusuran kuburan batu hari itu ditutup dengan mengunjungi Lo’ko Mata di Toraja Utara. Saya baru tahu tempat ini dari pemilik penginapan. Meski jauh, saya nekad ke sana.
Terdapat seonggok batu raksasa di tepi jalan raya. Batu itu penuh lubang berisi peti mayat dan beberapa ada yang kosong. Di sekitarnya dipenuhi keranda kayu berbentuk tongkonan kecil.
Sebenarnya saya ingin naik ke puncak batu itu, tapi petang sudah mendekat, langit mendung, dan saya harus kembali ke Makassar nanti malam. Dalam perjalanan pulang ke Rantepao, hujan deras.
Untunglah ada mantel di bawah jok motor. Hujan sepertinya berpihak pada saya, guyurannya agak mereda ketika melewati Batutumonga. Saya berhenti sejenak untuk menikmati pemandangan sawah bertingkat di bawah sana.
Pertengah Juli 2021 nanti, sepertinya adalah saat yang tepat untuk kembali ke Tana Toraja. Bakalan ada Toraja Highland Festival pada 12 – 18 Juli 2021 ini.
Pusat acaranya di Toraja Utara. Saya niat banget kalau nanti ke Toraja lagi, akan lebih banyak menghabiskan waktu di sini. Andaikan hari cerah di hari kedua waktu itu, sebenarnya, saya berniat ke Bori Kalimbuang. Ingin melihat dan menyentuh barisan batu prasejarah yang masih berdiri kokoh.
Mungkin, memang Yang Di Atas sengaja membuat perjalanan pertama saya ke Toraja tidak Lengkap. Dia ingin saya menyusun rencana untuk kembali di waktu yang tepat.
Masih banyak yang pingin saya ketahui tentang tradisi Toraja. Mengunjungi beberapa makam batu di sana, membuat saya makin penasaran melihat upacara pemakaman (rambu solo) dan penggantian pakaian mayat yang sudah bertahun-tahun meninggal (ma’ nene’). Lebih-lebih, saya juga pingin ikutan pesta pernikahan yang sempat saya lewati.
Selain itu, dalam kunjungan perdana ke sana, saya tidak sempat mencicipi kuliner khas Toraja. Bahkan kopi Toraja, terlewatkan. Benar-benar harus kembali, karena keindahan Toraja nggak ada habis-habisnya.
Semua pengalaman kembali itu, bakal saya abadikan dan bagikan melalui kanal video, blog, dan pastinya, sosial media. Saya pingin lebih banyak orang mengenal dan merasakan keunikan budaya Toraja yang otentik dan magis.
Kk Inda, semoga menang, bisa ke Toraja lagi, dan berbagi ceritanya
Siap, Kak Olive!
Perjalanan ke Toraja ini akomodasi sendiri, pakai jasa atau bagaimana Mbak?
Sayang ya tengah Juli ini Jawa Bali PPKM. Mau keluar Jawa gak semudah sebelumnya pastinya…
Aku solo traveling modal sendiri, Mbak.
Seberapa mahal ya kerbau bule-nya? Keliatan gede banget gitu.
Terus nama pasarnya juga unik, Pasar Bolu.
Asyik benar bisa jalan-jalan ke Toraja utara, moga suatu saat bisa traveling juga ke sana.
Duh ini destinasi yang belum kesampaian kudatangi. Akhirnya pandemi menyerang. Perjalanananku masih hanya sebatas Bunaken. Semoga lain kali bisa jalan2 lagi ke sini. Semoga tahun depan dengan perayaan yang sama.
Aku malah belum pernah ke Bunaken.
Seru banget membaca perjalanan mba Inda ke Toraja. Saya seperti ikutan ngintil di belakang. Kuburan batunya benar-benar di pinggir jalan ya. Negeri di atas awan Toraja pemendangannya keren.
Semoga perjalanan kedua berjalan lancar ya, ditunggu cerita, foto dan videonya.
Terima kasih. Semoga aku bisa ke Toraja lagi.
Selama ini kalau lihat Toraja di media, terasa mistis, karena banyak upacara yang berkaitan tentang arwah leluhur, tapi kalau baca di sini, jauh dari kesan mistis ya, malah kesannya kaya banget budaya ya, meskipun zaman modern, tapi kental dengan mudaya modern
Semoga bisa berkesempatan ke Toraja lagi ya kak. Pasti bakal banyak yang dieksplorasi dan bakal di share cerita nya nanti
kubur batu toraja menjadi daya tarik bagi wisatawan ya mbak
aku pun oenhen someday bisa jalan jalan kesan
Keren kak Linda, wah keren banget sudah pernah ke Toraja, solo traveling pula. Mendengar cerita Kak Linda seolah-olah saya benar-benar berada disana, terima kasih kak linda sudah share pengalamannya
Semoga suatu saat kita dapat bertemu di Toraja atau ditempat lainnya, Amiin.
Salut parah mba solo travel sendiri. Cita cita aku bangettt. Moga bisa kaya mbaa juga<3. Aku pernah sih ke makassar tapi kayanya beda ya dgn tanah toraja.
Tinggal lanjut naik bus, tuh.
Aku belum pernah ke toraja kak, mupeng banget pengen juga ke sana
semoga ada rejeki, dengan ceritamu jadi makin semangat semoga pandemi lekas berlalu aamiin
Dari dulu aku penasaran pengen ke sini .. dulu suami aja yg ke sini. Keren katanya… semoga ada takdirnya bisa ke sana….
Seru banget mba bisa traveling solo, pasti banyak pengalaman baru ya, senang pastinya akhirnya bisa mewujudkan impiannya
Daya tarik toraja sangat kuat buat saya yang selalu tertarik dengan kebudayaan nusantara. Mudah-mudahan suatu hari ada kesempatan bertandang langsung ke sana. Sementara ini baru bisa ikut menikmati lewat tulisan dan video seperti ini.
Semoga nanti berkesempatan, ya, Kak.
seru banget bisa solo traveling, lihat banyak yang solo traveling jadi yakin aku juga pasti bisa hehe, semoga bisa ke toraja juga ya mba 🙂
Huaaa impian banget bisa ke Toraja
Dari dulu udah rencanain mau ke sini, apa daya selalu saja belum kesampaian
Semoga diberi rejeki dan kesehatan biar bisa berkunjung ke sana
Baca cerita dan lihat foto-foto di sini malah jadi makin penasaran sama Toraja
baca ini jadi kangen pengen ke Toraja lagi, dulu saya ke sana tahun 2013, pasti sekarang sudah banyak yang berubah ya, lebih banyak lagi destinasi wisatanya
Wah tanah toraja ini indah sekali ya kak. Btw yang diatas kaca tadi kebayang merindingnya hehehe. Yes apapun itu namanya budaya malah indah ya kak nggak perlu ditakuti. Saya malah berharap semoga nanti Ada rezeki berkunjung kesana
Wah serasa ikut serta traveling ke Toraja kak. Aku pingin banget ke sana. Impian banget melihat langsung budaya Toraja. Dan mencicipi kuliner Toraja.
Wah jadi kangen Toraja. Beberapa kali di tahun 90-an sering berkunjung untuk liputan di sana. So dengan adanya PPKM tgl 3-20 Juli…gimana apa acara Toraja Highland Festival yg rencana diadakan 12 – 18 Juli 2021 jadi digelar?
Belum ada pemberitahuan resmi, Kak. Sayang, ya, sebenarnya.
seru banget pengalamannya mbak, sepanjang perjalanan itu motoran sendiri? Semoga pandemi lekas usai ya, biar bisa jalan jalan lagi…
Iya, cara paling mudah emang motoran.
Ah tana toraja emang keren sih ya.. Jadi kangen mau kesana lagi… tapi langsung yang kbayang jauhnya..Semoga ada kesepatan ke Tator lagi…
aku kepengen juga ke toraja kak.. belum kesampaian. inginnya sih ke sana lihat beberapa upacara adat yang sakral gitu.. biar ada value dan experience lebih saat berkunjung
Toraja oh Toraja. Aku makin ingin ke sana. Keindahan dan kebudayaannya masih terjaga alami. Menjadi daya tarik tersendiri. Semoga aku ada kesempatan untuk jalan-jalan ke sana.
Wah. Solo travelling sampe Toraja. Keren deh, Mbak.
Anyways, wira-wirinya pake motor, Mbak?
Iya. Lebih praktis motoran, soale.
Aku belom pernah ke toraja, tapi membaca postingan ini, setidaknya aku ikut menikmati perjalanannya lagi ke toraja utara. Jadi pengen jelajah kesana deh..
wah pengen banget ke Toraja, semoga tahun depan terwujud amin :’)
Seru sekali ceritanya ke Toraja mbak. Saya juga pengen banget ke sana. Kapaan ya? Konon di sini menyimpan banyak sejarah dan keunikan adat budaya ya mbak.