Setahun belakang saya kerap mendengar istilah VOLUNTOURISM, yaitu kegiatan jalan-jalan yang disambil dengan berkegiatan sosial. Tidak hanya datang, lihat-lihat, foto-foto, lalu pulang. Perjalanan jadi lebih berarti karena kita berbuat sesuatu untuk masyarakat atau untuk tempat yang kita datangi.
Sebagai penghuni kota kecil, Bengkulu, saya merasa kesulitan mendapatkan informasi mengenai komunitas kemasyarakatan, kecuali mungkin di kampus-kampus. Saya mencari aktifitas yang membuka kesempatan bagi siapapun yang ingin terlibat secara sukarela, tapi bukan dari segi pendanaan. Saya hanya ingin berkontribusi, khususnya di bidang pendidikan dan lingkungan. LSM? Saya tidak suka berurusan dengan segala sesuatu yang berbau politik atau konflik kepentingan.
Tanpa sengaja, saat berselancar di media sosial, mata saya menangkap tulisan Traveling & Teaching. Tahu sendiri, saya super terobsesi dengan kata t.r.a.v.e.l.i.n.g. Saya baru tahu ada yang namanya gerakan 1000 Guru, yang telah tersebar di banyak kota di Indonesia. Melihat persyaratan dan ketentuannya, saya merasa memenuhi kriteria.
Kegiatan awal 1000 Guru Bengkulu adalah merekrut relawan panitia. Khawatir akan mengganggu pekerjaan, saya memilih untuk terlibat di kegiatannya saja, mengajar di sekolah dasar.
Pengumuman yang ditunggu akhirnya keluar. Sayang, waktu, lokasi, dan biaya, menghalangi niat baik saya. Untunglah, tidak lebih dari sebulan, pengumuman untuk event kedua kembali terbit. Langsung saya mendaftarkan diri walaupun kali ini tagline kegiatannya adalah Teaching & Giving.
Bayar? Iya, ada biaya bagi yang ingin mengikuti kegiatan 1000 Guru. Besarnya tergantung lokasi, dan ini akan ditukarkan dengan kaos, transportasi, akomodasi (jika menginap), makan, pin, sertifikat, dan donasi. Bagi saya ini bukan masalah. Kalau tidak ada event ini, entah kapan saya bisa mengunjungi tempat yang tidak pernah saya ketahui keberadaanya. Kegiatan ini menarik karena targetnya adalah SD-SD yang kurang mendapat perhatian di daerah-daerah pinggiran.
Walaupun agak kecewa karena tidak akan ada kunjungan ke tempat ‘main’, saya tetap mendaftar karena sudah entah dari kapan saya mencari kegiatan seperti ini. Saya belum pernah menjadi relawan yang aktivitasnya berhubungan dengan masyarakat. Terlebih jauh di dasar hati yang paling dalam, saya ingin bermanfaat bagi orang lain.
Kegiatan 1000 Guru Bengkulu yang kedua ini diadakan di SDN 145 Kabupaten Seluma, tepatnya di Desa Sengkuang Lunjuk. Acaranya hanya satu hari, dan berjarak sekitar satu jam dari pusat kota.
Berdasarkan kesepakatan pada saat briefing sehari sebelumnya, yang tidak saya hadiri, kami diharapkan berkumpul pada pukul 5 subuh. Saya sudah datang sebelum jam 5 bareng dengan panitia yang tinggalnya tidak jauh dari rumah. Tapi sepertinya orang Indonesia masih sulit berevolusi mental untuk hal ini, berangkatnya molor lebih dari satu jam.
Udara segar menerpa wajah kami para relawan yang duduk di mobil bak terbuka bersama beberapa bawaan masing-masing. Beberapa panitia ada yang naik motor, dan sesekali memoto dan memvideokan kami. Semoga hasilnya secerah pagi itu.
Perjalanannya ternyata hanya sekitar 45 menit dari meeting point kami. Itu pun sekolahnya sangat dekat dari jalan raya, hanya beberapa langkah dari mulut gang. Tapi, hanya ada dua bangunan: ruang kelas dan ruang guru. Ruang kelasnya pun hanya tiga pintu, dan semuanya masih dalam keadaan digembok saat kami datang.
Aneh memang, untuk sekolah yang berada lumayan dekat dengan ibukota provinsi, keadaannya sangat memprihatinkan. Ruang guru sepertinya juga diperuntukkan untuk kepala sekolah dan perpusatakaan. Lalu kelas, yang antar ruangnya dipisah oleh dinding papan, dihuni oleh gabungan dua kelas yang dipisah oleh sekat tripleks. Kelas 1 dan 2, 3 dan 4, serta 5 dan 6. Bayangkan betapa besarnya daya konsentrasi yang mereka butuhkan. Ketika guru menerangkan sesuatu, mereka juga bisa mendengarkan suara guru di kelas lain walaupun arahnya berlawanan.
Waktu itu saya kebagian mengajar Bahasa Inggris di kelas 1 bersama seorang relawan. Dia rupanya masih bingung akan bagaimana di kelas nanti. Tapi karena segala sesuatunya disiapkan oleh panitia, saya berusaha santai saja.
Asyiknya sebagai relawan 1000 Guru, kita tidak perlu meyiapkan media pengajaran. Panitia sudah menyiapkan semuanya, bahkan panitia pun ikut serta mengajar. Peserta hanya tinggal bawa badan. Bagi mereka yang punya nol pengalaman mengajar tapi berminat ikut, ini kesempatan baik!
Di kelas 1 kami mengenalkan berbagai profesi. Guru akan menunjukkan gambar berbagai pekerjaan dan meminta anak-anak menyebutkannya dalam Bahasa Inggris. Dari awal, sebenarnya saya tidak yakin bahwa Bahasa Inggris adalah materi yang cocok untuk anak kelas satu. Benar saja, setelah menyebutkan berbagai pekerjaan dalam Bahasa Inggris, semuanya bagaikan menguap dan kembali didominasi oleh Bahasa Indonesia bercampur bahasa daerah sebagai bahasa pengantar.
Jumlah dari relawan pengajarnya hanya sedikit. Satu kelas diisi oleh dua atau satu orang, ditambah dengan panitia. Contohnya, saya yang hanya berdua ditemani oleh dua orang panitia. Saya kurang tahu apakah sepi peminat, atau kuotanya yang terbatas.
Sebelum masuk kelas, kami semua sudah memperkenalkan diri di halaman sekolah. Ketika masuk kelas, hanya kami berdua, relawan, yang ada, dan ketika sedang asyik menanyakan tentang cita-cita kepada anak-anak, panitia datang dan langsung mengambil alih. Saya yang dari sebelum berangkat agak mikir bakal melakukan kegiatan kreatif apa bersama anak-anak, berubah menjadi seperti pengawas saja. Tapi setidaknya, saya tahu bahwa profesi yang akrab bagi mereka tidak jauh dari pengalaman masa kecil saya: dokter, guru, dan tentara, walaupun ada satu yang ingin menjadi pak ustad.
Seperti yang diduga, saat kami berisik tentang profesi, kelas di sebelah juga aktif belajar mengenai waktu dan nama-nama hari. Untunglah, pelajaran kami segera berubah menjadi kegiatan mewarnai, sehingga tidak perlu berteriak-teriak lagi. Saya yang dari tadi bingung mesti ngapain, sudah berubah peran menjadi fotografer.
Sesekali saya dekati anak-anak untuk membantu memilihkan warna atau hanya sekadar ngobrol tentang keseharian mereka. Ada satu anak yang saya perhatikan cukup berbakat. Dia perempuan, kebagian mewarnai profesi model. Pemilihan warna berbeda pada gambar rok yang lebar menurut saya sangatlah kreatif. Saya memberinya empat bintang.
Setelah selesai, mereka diminta menuliskan nama dan cita-citanya pada potongan kertas berbentuk daun, lalu menempelkannya di pohon impian yang sudah panitia siapkan untuk masing-masing kelas. Pohon ini akan selalu mengingatkan mereka akan impiannya masing-masing. Cita-cita mereka bisa berubah, tapi semangat untuk meraihnya jangan sampai putus di tengah jalan.
Selanjutnya, bersama masing-masing pengajarnya, setiap kelas dibawa beraktifitas di halaman sekolah. Ada yang mendengarkan cerita dari pengajarnya diselingi permainan, ada yang bermain do mi ka do, ada yang bermain abc nama-nama hewan, dan ada yang nyanyi-nyanyi.
Dari antusiasme yang ditunjukkan anak-anak, terlihat sekali bahwa mereka membutuhkan kegiatan berbeda selain hanya di kelas dan mendengarkan pelajaran. Kebutuhan akademik mereka memang harus dipenuhi, tetapi kebutuhan sebagai anak-anak yang akrab dengan permainan dan motivasi positif, juga wajib diberikan. Tidak cukup sehari, itu benar, tapi jika dengan sehari bisa menjadi ingatan seumur hidup untuk mereka, adalah tujuan dari kegiatan ini.
Tadinya, saya pikir kegiatan ini hanya sampai jam sekolah, ternyata seharian. Sekitar jam 11, anak-anak sudah disiapkan untuk pulang karena kebetulan itu hari Sabtu. Bagi anak kelas 1, ini sudah sangat terlambat. Tapi, mereka semua sudah diingatkan untuk kembali lagi sekitar jam 2 siang. Tentu saja mereka merespon positif, bahkan semangat, apalagi ketika pulang sambil dibekali bingkisan berisi alat tulis.
Menunggu jam 2, tidak ada kegiatan yang dilakukan relawan dan panitia. Untuk makan, panitia sudah meminta orang menyiapkannya. Untuk mengisi kekosongan ini, kami semua sepakat melipir ke air terjun yang menurut rekan panitia yang melakukan survey, lokasinya tidak jauh dari sekolah.
Dalam perjalanan, kami banyak bertemu dengan anak-anak yang tinggal di jalan masuk menuju air terjun. Mereka melambai-lambaikan tangannya, melihat kakak-kakak yang tadi mengajar dan bermain bersama mereka. Ada Pak Kepala Sekolah yang mendahului kami dengan motor, dan jadi penunjuk jalan.
Perjalanan kami melewati kebun karet, dan mobil diparkir di batas tanah yang mampu dilewati mobil. Setelah itu kami berjalan kaki beberapa menit ke air terjunnya. Untung hari cerah sehingga rute tanahnya tidak menyusahkan langkah kami.
Air terjunnya kecil saja, sampai-sampai kurang terdengar ketika tadi kami mendekat. Tapi sejuk dan segarnya, itu yang mahal, apalagi, entah kapan terakhir saya ke air terjun. Begitu turun, saya langsung membuka sepatu dan mencelupkan kaki. Yang lain juga begitu, dan akhirnya kami semua menyeberang mendekati tirai air yang tipis di ujung sana. Kalau saja tidak harus kembali ke sekolah, kami mungkin sudah basah-basahan ke tengah.
Kali ini, walaupun kegiatannya Teaching & Giving, ada juga selipan Traveling di dalamnya. Walaupun telah beberapa kali melewati Seluma, saya belum pernah berhenti lama di daerah ini. Tahu ada air terjun ini pun, setelah tadi pada bisik-bisik ingin ke sini. Dasar rezeki anak sholeha.
Pulangnya, kami langsung menyiapkan makan siang yang sudah matang. Di ruang guru, kami membentang daun pisang dan duduk berjejer saling berhadap-hadapan menikmati nasi putih, ikan goreng, capcai tumis, dan sambal hijau. Sedap! Apalagi kebersamaannya.
Perut kenyang dan kembali berenergi, kami segera melakukan team building, antara panitia dan relawan. Anak-anak mulai berdatangan, dan mereka melihat bagaimana guru-guru pengganti mereka pada hari itu sedang seru-seruan sendiri. Tidak bisa lama tapi, karena anak-anak sudah penasaran menunggu aktifitas selanjutnya.
Secara tema kegiatan kali ini Teaching & Giving, selain mendonasikan kebutuhan sekolah kepada anak-anak, kami juga mengadakan pemeriksaan kesehatan gratis walaupun tidak disertai obat-obatan. Oleh karenanya, ketika anak-anak sedang asyik-asyikan bermain bersama beberapa relawan, seorang rekan dokter kami sedang mendengarkan dan memeriksa keluhan para pasiennya yang kebetulan hanya ibu-ibu dan anak-anak.
Hujan yang sempat membasahi bumi tidak mengurangi keriangan dan suara gaduh anak-anak. Bahkan menurut panitia, anak-anak di sini sangat sulit diminta tenang dibandingkan dengan anak-anak di sekolah sebelumnya. Lingkungan dan budaya, adalah yang mungkin mempengaruhi mereka, karena pada kegiatan yang pertama, lokasinya lebih di pedalaman.
Setelah semua permainan dan pemeriksaan kesehatan selesai, saatnya pulang. Belajar dari kelakuan anak-anak di sini, dan juga nimbrungnya orang tua dan orang dewasa yang menyaksikan kegiatan ini, kami melakukan gerakan ‘bawah tanah’ khusus untuk anak kelas 6. Mereka diminta kembali ke kelas setelah teman-teman lain dipulangkan. Ada bingkisan khusus untuk mereka sebagai persiapan menghadapi ujian nasional.
“Hari senin datang lagi, kak?”
“Terima kasih ya, kak.”
Sayup-sayup, tadi terdengar ucapan anak-anak yang hari ini rela menghabiskan waktunya di sekolah bersama kami. Mereka riang karena mendapatkan pengalaman baru di sekolah, lalu pulang dengan banyak hadiah dan makanan, dan mungkin sebuah pencerahan. Kami lebih senang lagi karena pernah menjadi bagian dari kehidupan mereka, dan mengingatkan bahwa mereka bisa menjadi apapun yang mereka mau.
seru sekali dan idenya bener bener luar biasa
Salam kenal aku dari Bengkulu, wah seru banget kegiatannya. Anak -anak memang sangat menyukai hal belajar yang diselingi bermain, termasuk mewarnai.
Salah kenal juga mbak Naqiyyah. Kapan-kapan mesti ketemuan nih.
Setuju.
wah kegiatan yang sangat bermanfaat dan banyak ketemu banyak orang pastinya seru ya
Hello kak inda. please send your artikel to 1000 guru bengkulu email bengkulu@seribuguru.org i,ill be waiting kak… Richa
Silahkan di copy paste aja URL blognya…. kàn udah lengkap tuh.