Sabtu sore di tanggal 7 Agustus 2020, bertepatan dengan Hari Hutan Indonesia, saya mengikuti Wonderful Papua Online Gathering bersama EcoNusa dan Blogger Perempuan Network. Dari tajuknya pasti sudah ketebak ya, topik apa yang dibahas dalam pertemuan jarak jauh itu.
Wonderful Virtual Meeting
Narasumbernya putra-putri asli Bumi Cendrawasih yang kenal banget sama tanah kelahirannya. Cerita-cerita mereka benar-benar bikin kaki gatal pingin segera ke spot manapun di pulau besar paling timur Indonesia itu. Kalau boleh sedikit berhalusinasi, saya pingin punya kemampuan teleportasi supaya nggak perlu lewat bandara. Yaa, selain waktu tempuhnya lumayan lama, ribet juga sama urusan rapid test Corona. Hehehe…
Oiya, pembicara sore itu ada tiga orang yang semuanya menetap di tanah Papua. mereka adalah Bustar Maitar, CEO EcoNusa; Kristian Sauyai, Ketua Asosiasi Homestay Raja Ampat; dan Alfa Ahoren, perwakilan anak muda Papua asal Manokwari. Sementara moderatornya adalah Jeni Karay, Papua Social Media Influencer, sekaligus Community Ambassador untuk Provinsi Papua dan Papua Barat.
Menariknya, meskipun ini virtual meeting, rasanya seperti actual meeting. Gimana enggak, selama mengikuti banyak seminar atau konferensi daring sejak diberlakukannya kebijakan Work from Home, belum pernah saya mendapatkan goodie bag. Normalnya kan, kalau pertemuan di hotel atau kantor, kalau nggak dapat seminar kit, ada makan siang atau snack dan teh/ kopi.
Kali ini kita mendapatkan bingkisan yang sangat menarik, asli dari habitatnya burung kasuari. Isinya ada tas kain, notebook, dan kopi organik dari Wamena. Semua itu dikirim langsung ke rumah peserta yang tersebar di berbagai kota di Indonesia. Keren banget, kan. Sebelum kaki saya bisa menyentuh Papua, lidah saya dulu, ternyata, yang menyesap rasa Papua.
Wondeful Papua, Surga di Timur Indonesia
Online gathering ini membuka wawasan saya tentang konsep destinasi hijau. Menurut penjelasan Pak Bustar, istilah ini merupakan konsep ekowisata yang peduli dan bertanggungjawab terhadap lingkungan, baik tempatnya, pengelolaannya, maupun perilaku masyarakat dan pengunjungnya.
Bukan berarti lantaran di Papua hutannya masih banyak, terus semua terlihat hijau. Bukan. Tapi justru karena keunikan alam dan budayanya. Seperti diketahui, masyarakat Papua yang masih banyak menetap di lembah dan pegunungan, kehidupan dan mata pencariannya sangat bergantung pada alam. Hutan adalah elemen vital bagi mereka. Andaikan hutannya terkikis bahkan rusak, mereka sendiri yang kasihan.
Belum lagi keunikan ekosistem dan makhluk endemiknya. Semua itu sumber ilmu pengetahuan dan sosial budaya yang tak ternilai. Jadi harus dirawat dan dijaga, jangan sampai punah.
Danau Habema yang merupakan danau tertinggi di Indonesia ada di sini, kawan-kawan. Lalu di hutan Papua tidak ada hewan besar. Hewan paling besarnya cuma kasuari, burung yang tingginya bisa mencapai 1 meter. Mhm… saya langsung kepikiran mau hiking dan camping di hutannya, nih.
Setelah itu pesona lautnya. Siapa yang tak kenal dan tak ingin ke Raja Ampat. Ini destinasi kelas dunia.
Kebetulan banget. Saya yang berencana solo traveling ke sana, agak kesulitan mencari informasi mengenai akomodasi. Homestay lokal sepertinya akan menjadi pilihan, setelah mendengar penjelasan Pak Kristian. Selain biaya sewanya lebih murah dari resort, juga bisa lebih dekat dengan warga. Lokasi dan view pun tak kalah menarik.
Daya pikat Raja Ampat, semua juga tahu, adalah laut biru dan taman laut di bawahnya. Ternyata bukan hanya itu, ada juga hutan dan gugusan pulau-pulaunya yang dihuni oleh flora dan fauna eksotis.
Tak salah kalau paket ekowisata di Papua sangat lengkap. Alam dan budaya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Saya pribadi, impian banget bisa menghadiri Festival Lembah Baliem. Saya pingin bertemu banyak suku di sana, dan mendengar bahasa mereka yang berbeda satu sama lainnya.
Nggak bisa sebentar, kayaknya, ke sini. Soalnya, ketika diminta saran mengenai destinasi yang harus didatangi bagi yang baru pertama kali berkunjung, Pak Bustar menyarankan untuk pergi ke semua tempat. Waduh, Pak. Andaikan dari Bengkulu bisa naik angkot, mungkin tiap-tiap tempat akan saya kunjungi dan dijadiin konten setiap akhir pekan.
Sayangnya, menurut Pak Kristian, ada banyak tantangan yang mesti dihadapi warga, khususnya pemilik homestay, di antaranya:
- minimnya kemampuan Bahasa Inggris para staf mempengaruhi minat wisatawan asing untuk menginap di homestay.
- mulai adanya persaingan harga dengan resort yang nakal mematok harga rendah setara homestay.
- tidak adanya fasilitas diving di homestay, padahal tempat ini terkenal sebagai diving spot.
Tantangan tersebut, tentunya bisa menjadi peluang bagi pengelola homestay. Apalagi di masa pandemi ini, selagi menunggu para traveler datang kembali meramaikan Raja Ampat, mereka bisa meningkatkan skill dan sarana yang diperlukan.
Pembicaraan makin seru ketika ditutup oleh Alfa, anak muda inspiratif. Saya sampai senyum-senyum mendengarnya bercerita. Dia fasih banget menjelaskan potensi ekowisata daerahnya, dan sangat memotivasi saya untuk segera berangkat ke Papua.
Tak lupa dia juga berpesan agar masyarakat, khususnya anak muda, harus peduli dan aktif menjaga alam sekitar, demi kehidupan generasi yang akan datang. Juga kepada siapapun yang berkunjung, harus menghargai tradisi dan ekosistem setempat.
Iri sangat saya sama petualangan Alfa dan teman-temannya di pegunungan Arfak. Melintas hutan, menyeberang sungai, dan menikmati makanan dari hutan. Lelah namun rela.
Hampir 6 bulan ini di rumah saja, videonya benar-benar mengusik saya untuk pindah ke Papua. Apalagi pas dia bilang, “Sebelum ke surga, harus ke tanah Papua.”
Papua cantik alamnya semoga bisa diwariskan ke anak cucu kita ya keindahannya