Kesan pertama saya tentang areal Cu Chi Tunels adalah seperti berada di semacam taman hutan raya. Begitu melewati gerbang, saya tidak langsung melihat tempat penjual tiket, melainkan ada bangunan semacam kantor dan tempat makan. Karena melihat ada yang keluar dari bangunan yang tadinya saya pikir kantor, saya pun berinisiatif mendekat untuk bertanya di mana membeli tiket masuk. Rupanya dia menunjuk ke seberang, yang memang terlihat ada bangunan kecil terbuat dari kayu.
Bagi yang baru pertama kali ke Cu Chi Tunnels tanpa tur, terus saja jalan lurus mengikuti jalan beraspal, loket tiket ada di sebelah kiri jalan.
Harga tiket masuknya 90.000VND/orang, sudah termasuk brosur tentang Cu Chi Tunnels. Petugasnya memberitahu arah ke terowongan yang langsung saya iyakan dengan yakinnya karena dipikir pasti langsung ketemu kalau nanti berjalan ke arah yang dia tunjukkan. Ternyata, entah saya kelewatan atau memang tidak ada, saya tidak menemukan petunjuk jelas yang mengarahkan saya ke terowongan Cu Chi Tunnels, yang sebenarnya saya juga tidak tahu tempatnya seperti apa. Terlihat ada peta kawasan Cu Chi Tunnels, tapi saya malas membacanya, karena saya mau cepat sampai ke lokasi.
Saya terus berjalan mengikuti orang-orang yang saya pikir punya tujuan yang sama dengan saya. Tapi kok…? Lalu, terlihat semacam golf-car yang baru menurunkan dan mengangkut penumpang. Saya kembali menebak-nebak, tapi seingat saya belum ada artikel yang bercerita tentang alat transportasi di dalam areal ini, apalagi mengenai lokasi terowongannya yang jauh dari pintu masuk. Penasaran, sambil memperlihatkan brosur di tangan, saya bertanya pada beberapa orang di dekat saya. Entah memang tidak tahu atau tidak mengerti, mereka hanya geleng-geleng kepala saling bertatapan bingung. Saya pun berbalik arah dan kembali bertanya kepada orang lain. Rupanya, terowongan bawah tanah yang saya cari-cari ada di areal hutan di belakang pendopo yang tadi sudah saya lihat dan dipikir hanyalah ruang display koleksi senjata.
Kebetulan ada beberapa orang yang sedang mengarah ke pendopo tersebut, tinggal saya ikuti saja. Setelah melihat-lihat sebentar, datang seorang pemandu perempuan yang mengarahkan pengunjung ke bagian belakang pendopo, yang rupanya memang ada pintu masuk ke areal hutan. Pintunya sangat sederhana dan terkesan darurat. Di sana sudah menunggu petugas yang siap memberikan stiker tanda masuk Cu Chi Tunnels yang harus ditempel di badan. Setelah itu saya disuruh mendekat ke petugas lain yang sedang menunggu di dalam hutan. Saat itu saya sendirian, dan jujur sempat planga-plongo karena khawatir tidak ada pemandunya.
Walaupun datang sendirian, tetap akan ada pemandu yang akan menemani.
Setelah menyapa dan bertanya asal saya, petugas tersebut mengajak saya melihat-lihat beberapa barang peninggalan perang seperti rudal, senapan, dan beberapa patung yang mengenakan pakaian layaknya warga Vietnam pada zaman perang. Setelah itu saya dibawa ke tempat pemutaran video tentang sejarah Cu Chi Tunnels. Tempatnya seperti pendopo beratap daun kelapa, tanpa dinding pembatas. Tidak lama, ketika film baru diputar beberapa menit, ada pengunjung lain yang bergabung. Lalu, ada pengunjung lain lagi. Tidak lama, setelah ditanya, kami sepakat untuk langsung melihat lokasi Cu Chi Tunnel tanpa harus menyelesaikan tontonan.
Saya bergabung dengan kedua bule yang terakhir datang, yang rupanya berasal dari Inggris dan mengaku pernah ke Indonesia ketika tahu saya berasal dari Indonesia. Pemandu kami cukup bersahabat, dan cukup fasih menjelaskan sejarah Cu Chi Tunnels dan kisah-kisah yang menyertainya. Kami bertiga sempat berseru ketika kakinya menggeser daun-daun di tanah, lalu tampaklah sebuah penutup kayu yang menandakan ada terowongan dibawahnya. Setelah bercerita sebentar dan memberi tahu bahwa panjang terowongan tersebut hanya sekitar tiga meter, kami pun dipersilahkan mencobanya, sementara dia akan menunggui tas dan bawaan kami. Saya pikir terowongannya gelap, karena sebelum masuk dia sempat memberitahu arah yang harus kami ambil; lurus, kanan, dan kiri.
Ada lampu kecil di dalam terowongan, dan tidak terlalu sempit, karena memang sudah diperbesar untuk kepentingan turis. Untuk ukuran saya yang tingginya hanya sekitar 151 cm, masih bisahlah mengambil posisi rukuk sambil jalan. Tapi yaitu, pengap dan panas.
Dari cerita-cerita yang saya tangkap, Cu Chi Tunnels sangat personal untuk masing-masing prajurit, karena terowongan ini bukan hanya berfungsi sebagai tempat bersembunyi lalu menyerang lawan secara tiba-tiba, tapi juga ranjau dan ruang tawanan. Bahkan sesama prajurit pun, mereka tidak tahu bagaimana bentuk dan lokasi terowongan-terowongan yang ada. Rumah semut yang ada di atas terowongan berguna sebagai pengecoh musuh, sekaligus sangat berbahaya bagi yang ada di bawahnya. Bahkan ada satu terowongan yang kami lewati ada kelelawarnya.
Terowongan-terowongan tersebut tidak bersambung satu sama lain, sehingga bagi yang berjalan di atasnya sangat sulit menebak apakah di bawahnya ada lubang atau tidak. Salut buat pemandu di tempat ini yang hapal di mana saja letak terowongan-terowongan yang ada.
Konon katanya, dulu pernah ada turis yang nyasar di salah satu terowongan di sini, dan baru beberapa jam kemudian ditemukan. Untung dalam keadaan selamat. Itulah makanya, terowongan yang diperuntukkan bagi turis hanya yang pendek-pendek saja.
Selain sebagai strategi perang, ruang bawah tanah ini dulunya juga berfungsi sebagai ruang darurat, seperti klinik, dapur, kamar, dan ruang rapat. Di salah satu terowongan, kami mendapatkan sebuah ruangan yang cukup besar berisi meja dan bangku panjang seperti umumnya tempat pertemuan yang di dalamnya kita tidak perlu berjalan jongkok atau membungkukkan badan.
Selain diajak menyusuri beberapa ruangan bawah tanah, kami juga diperlihatkan ranjau, berupa lubang sedalam sekitar dua meter yang terpasang besi atau kayu runcing di dasarnya, lalu bagian atasnya tertutup tanaman. Jadi ketika ada musuh lewat, mereka akan jatuh tertancap.
Lumayan capek juga, ternyata, naik-turun dan jalan jongkok di beberapa terowongan Cu Chi Tunnels ini. Dan sebagai penutup, kami disuruh cuci tangan di keran bambu, lalu disuguhi makanan yang dulu biasa disantap tentara Vietnam, yaitu singkong rebus dengan cocolan kacang tumbuk dan gula pasir. Di sinilah pentingnya membawa air minum sendiri, selain penghilang dahaga karena kecapean keliling hutan, juga karena tidak disediakan minuman sebagai temannya makan singkong. Namun, tersedia warung bagi yang mau membeli minum, baik air putih, soft drink, atau kelapa muda.
Walaupun turnya telah selesai dan pemandunya pergi, kami diperbolehkan untuk melihat-lihat sekitar. Dan ketika berjalan keluar, terdapat toko suvenir yang menjual topi dan pakaian khas tentara Vietnam, beserta alas kaki yang terbuat dari karet berwarna hitam. Ada juga pendopo yang memajang foto-foto pembuatan Cu Chi Tunnels dan contoh-contoh senjata yang digunakan pada masa itu.
Kalau ingin mencoba menembak dengan AK-47, M-30 atau senjata mematikan lainnya, bisa membeli minimal 5 peluru, yang harga satuannya 25.000 – 30.000VND di toko suvenir.
Selain terowongan yang menjadi daya tarik tempat ini, ada juga kuil dengan pagodanya yang tinggi. Lalu, saya sempat melihat satu spot di areal hutannya, berisi barisan tanaman yang ditandai dengan nama-nama negara di kawasan Asia Tenggara dan juga Jepang.
Patungnya berasa ‘hidup’ di cahaya remang remang
Iya ya, mbak? Aku gak merhatiin hihih…
ke sini sendiri pake apaaaa? kan jauh banget dari pusat kota :O aku sih pake travel yang banyak itu di sekitaran pham ngu lao hahaha dan bekel makan dari hotel saking takut kelaparan di sana XD
Ada bus umum, mbak.
hahahaha..aku kgn kesanaaaa ^o^… gila msh kebayang pinggul ampir patah jalan bongkok di dlm hihihihi…ya ampun…sampe2 pas disuguhin singkong rebus ama kacang dan gula lgs girang ga ketulungan ;p.. laper berattttt…. dan sjk itu aku jd suka loh makanin singkong ama kacang dan gula 😉
Pegel deh ah hahaha saya belum prnh ke sini pas ke vietnam, kalau ada trip lg mau ke sini ah kyknya asik