Ke Pantai Tersembunyi saat Lebaran di Bengkulu

Bernasib tidak punya tempat mudik, saya hanya menghabiskan waktu di rumah sepanjang libur lebaran tahun ini. Pingin, sih, kayak orang-orang yang berlibur ke luar kota saat libur lebaran di Bengkulu, apalagi jatah cuti bersama tahun ini relatif panjang.

Sayangnya, saya bukan tipe follower yang berbagi THR dengan meramaikan bandara, stasiun, atau terminal, pada musim tanggal merah. Saya cenderung menjadi pelaku liburan ketika orang-orang berkutat dengan rutinitas kantor. Orang kerja, saya libur. Orang libur, saya istirahat. Kapan kerjanya? Nggak pernah. Kan, saya nggak suka kerja. Hahaha…

Serius, di rumah doang?

Nggak, sih. Main juga ke rumah sanak famili. Tapi di hari kesatu dan kedua Syawal. Hari ketiganya saya ke pantai.

Biasa aja, kali, ke pantai.

Iya, kalau pantainya di areal Pantai Panjang sampai ke Pantai Pasar Bengkulu. Saking ramainya, saya sengaja menghindari daerah itu. Hanya pas lebaran pertama saya melintasi Pantai Panjang hingga ke Tapak Paderi yang suasananya masih sepi.

Besoknya, mulai, semua tumplek di sepanjang Pantai Panjang. Tidak hanya dari Kota Bengkulu yang datang, tapi juga dari berbagai kota dan kabupaten tetangga. Ditambah para anak, cucu, menantu, pacar, kakak, adik, paman, bibi, datuk, serta nenek yang tinggal di perantauan dan sedang mudik ke Bengkulu.

Tidak bisa menyalahkan, sih. Destinasi andalan di sini memang wilayah pesisir, mau tak mau orang pasti akan ke sana kalau berlibur, termasuk saya. Bedanya, pantai yang saya tuju kali ini jauh dari pusat kota dan relatif sepi, tapi mulai menjadi primadona.

Pantainya ada di daerah Pelabuhan Pulau Baai. Orang-orang menyebutnya Samudera Ujung. Di sana ada pantai tersembunyi, dan terkenal dengan lentera hijau dan merahnya.

Berdua Rommy, dengan motor masing-masing, kami melaju ke Teluk Sepang. Ada sebersit keraguan di awal perjalanan karena sama-sama tidak tahu tempatnya, dan melihat jalanan yang sepi, apalagi setelah melewati pelabuhan. Tapi, rasa penasaran mampu menguatkan tekad kami melihat lentera yang telah banyak menghiasi akun Instagram anak-anak muda Bengkulu ini.

Sesuai petunjuk, kami terus berkendara hingga melewati gerbang Pelabuhan Pulau Baai, melintas di depan deretan stockpile batu bara, tiba di lokasi pembangunan PLTU, lalu mentok di jalan buntu penuh pasir dan barisan tanaman khas pantai. Kami pikir kami salah jalan karena tidak tampak lautan, apalagi lenteranya. Lalu kami berbalik arah dan bertemu mobil yang berbelok masuk hutan. Curiga mereka juga ingin ke pantai, kami ikuti mobil itu sampai akhirnya melihat perairan dan gerombolan orang yang sedang berenang. Mungkin satu keluarga, karena ada acara masak-masaknya.

“Di mana lenteranya, kak?” tanya saya kepada pria yang kami temui di sana.

“Masih ke sana lagi.” ia menunjuk jalan setapak yang diapit tanaman rimbun.

Kami pun melajukan kendaraan hingga ke ujung, sampai melihat ada belokan.

Whuuuaaa… sukaaa! Nggak ada orang. Pantainya sepi, bak pantai pribadi. Tampak si lentera sedang berdiri kokoh di ujung sana. Maksud hati ke lentera merah, eh, sampainya di lentera hijau. Lentera merah ada di sisi lain, tapi tampak jelas dari posisi kami berdiri. Keduanya hanya dipisah laut biru yang tenang.

Tak bisa ditahan, naluri eksis mendesak tampil untuk segera mengeluarkan smartphone. Untung pasirnya tidak terlalu kering, jadi motor tidak mengalami kendala saat bergerak untuk diparkir di tempat teduh. Setelah itu, langsung kami beraksi.

Suka sangat dengan tempat ini. Lautnya tampak bersahabat untuk diajak bermain. Andaikan membawa pakaian ganti, dan sinar mentari tidak membakar kulit, saya betah berlama-lama di sini.

Tidak lama, mulai tampak orang berdatangan. Ada anak-anak yang asyik berkejaran di air, dan ada yang sedang memancing sambil berdiri. Dari yang ada hanya kami berdua dan satu keluarga kecil, sekarang tiba dua tiga orang, lalu satu keluarga besar yang sengaja membentang tikar dan membawa bekal.

Dalam hati saya berdoa, semoga mereka punya kesadaran membawa kembali sampah bekas makannya. Karena, kalau melihat beberapa bekas botol dan bungkus makanan yang bertebaran di pantai, lama-kelamaan keindahan tempat ini akan pudar. Saya tidak mau itu terjadi.

Begitulah secuil kisah #lebarandiBengkulu versi saya. Tuntas menikmati hidangan lebaran dari rumah ke rumah, selanjutnya pindah ke tepi pantai, menikmati keindahan alam Kota Bengkulu.

Tulisan ini dibuat untuk menjawab tantangan dari Blogger Bengkulu untuk #nulisserempak tentang #lebarandibengkulu.

6 Replies to “Ke Pantai Tersembunyi saat Lebaran di Bengkulu”

  1. Kawan-kawan, pernah nggak sih setelah melakukan perjalanan, kalian nggak mampu menuliskan pengalaman itu dalam jangka waktu yang cukup lama? Sekuat apa pun keinginan kalian mencoba untuk menuliskan kembali, tulisannya hanya mentok sampai dua paragraf doang. Atau bahkan nggak satu kata pun muncul saking berkesannya pada tempat yang baru kalian tinggali itu. Ini yang terjadi sama aku setelah meninggalkan Provinsi Bengkulu pada September 2016 lalu. Ya, 10 bulan yang lalu. Apakah ada yang mengalami hal serupa?

    1. Poinnya, dipisah-pisah. Misal, tentang makanan aja, orang-orang ya, tempat-tempat, dll.

      Makanya sering foto2. Kalo lupa, kan bisa lihat dari foto2.

Leave a Reply to Rio Anderta Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *