Beberapa waktu lalu, saya mendapatkan pesan pribadi melalui WhatsApp dari nomor tak dikenal. Isinya tentang perubahan biaya transaksi melalui Bank BRI, dari Rp6.500/ transaksi menjadi Rp150.000/ bulan.
Seketika saya langsung mengernyitkan kening. Meskipun saya nasabah baru di BRI, saya yakin, semahal-mahalnya biaya administrasi atau transfer antar bank, tidak akan sampai ratusan ribu rupiah.
Awalnya, saya tidak peduli dengan isi pesan di atas. Kemudian saya sadar bahwa saya harus menjadi nasabah bijak, karena saya sedang merintis usaha yang beberapa kali bertransaksi lewat BRI.
Bisa tekor, dong, kalau setiap bulan harus keluar uang segitu, sementara pemasukan belum stabil. Malah, terkadang, saldonya hanya cukup untuk biaya admin.
Table of Contents
Nasabah Bijak vs Begal Rekening
Untunglah, dulu saya pernah ikut workshop tentang menangkal hoaks atau berita palsu, sehingg tahu apa yang harus dilakukan ketika mendapatkan berita yang dirasa aneh.
Cara paling mudah mengecek berita dari BRI-INFO tersebut adalah lewat media sosialnya, pikir saya. Twitter-lah yang saya tuju pertama kali, karena tahu, BRI cukup aktif di sana.
Tanpa menunggu lama, begitu akun BRI terbuka, cuitan tentang biaya transaksi tersebut sudah tersemat di posisi teratas. Konfirmasi dari BRI sudah ada sejak tanggal 15 Juli 2022, sementara saya di-WA oleh si oknum pada 1 September 2022.
Yaaa, meskipun jumlah uang di rekening saya tidak sebanyak saldonya Nagita Slavina, saya tidak mau gampang percaya berita apapun yang menyangkut simpanan saya di bank. Saya mesti cek kebenarannya.
Modus yang saya alami itu hanya satu dari sekian jenis kejahatan di dunia maya yang bertujuan untuk memanipulasi seseorang agar menyerahkan data pribadi, data akun, maupun data finansial kepada pelaku. Tujuannya, apa lagi, kalau bukan menguras isi rekening atau barang berharga korban.
Modus kejahatan siber yang menyerang nasabah bank, biasanya tentang:
- info perubahan tarif transfer bank
- tawaran menjadi nasabah prioritas
- akun layanan konsumen palsu
- tawaran menjadi agen
Kejahatan seperti itu dikenal sebagai social engineering (soceng), atau sebut saja begal rekening. Seram amat, ya. Pelaku, biasanya, mengaku sebagai pihak resmi dari bank, e-commerce, ataupun jasa keuangan lainnya
Pelaku berusaha meyakinkan calon korban. Tergantung hoaks yang dikirim, mereka akan menawarkan bantuan atau meminta kita mengisi form. Ujung-ujungnya, pasti minta data pribadi, seperti PIN, nomor OTP, password, nomor CVV/ CVC, nomor kartu, bahkan minta dikirimkan uang sebagai syarat mendapatkan mesin EDC.
Eits, kita juga bisa secara tanpa sadar mengumbar informasi pribadi, loh. Saking mau total, entah curhat atau pamer, kita menampilkan semua silisilah keluarga dan nomor identitas di media sosial.
Semua itu bisa digunakan oleh orang jahat untuk mengakses akun keuangan kita. Maka dengan mudah pelaku menguras isi rekening.
Melihat makin merajalelanya kejahatan berbasis soceng, lahirlah gerakan nasabah bijak. Ini merupakan komunitas yang bertujuan mengedukasi masyarakat luas agar dapat menentukan produk dan layanan jasa keuangan yang sesuai dengan kebutuhan, serta terhindar dari kejahatana siber sektor keuangan.
Digitalisasi Keuangan dan Risiko yang Mengintai
Zaman dulu, untuk bertransaksi atau ingin tahu info keuangan kita di bank, nasabah harus datang ke bank, atau telepon customer service. Ribet, karena perlu meluangkan waktu dan rawan diincar perampok.
Kemudian ada mesin ATM, kita bisa melakukan transaksi apapun tanpa harus ke teller. Risikonya, lupa nomor PIN sampai kartu ATM ditelan mesin. Bisa juga dicopet orang, kalau dia tahu kita barusan mengambil uang.
Sekarang, makin ringkas lagi. Nasabah bisa bertransaksi dan bayar ini-itu dari rumah saja, sambil rebahan.
Bank terus membangun sistem perbankan yang menggunakan teknologi digital. Nasabah tidak perlu repot-repot ke bank atau ke anjungan ATM terdekat jika ingin bertransaksi atau sekadar mengecek saldo. Cukup menggunakan smartphone di tangan.
Tetap saja, tapi. Mau secanggih apapun teknologinya, risiko tetap ada. Pencuri uang yang biasanya muncul terang-terangan di depan mata, sekarang bisa mengambil uang kita dari jarak jauh, tanpa kita ketahui.
Modalnya? Handphone/ laptop!
Caranya? Pakai data pribadi kita!
Menjadi nasabah bijak dan cerdas adalah keharusan. Jangan gampang memberi informasi kepada pihak yang tidak dikenal, apalagi yang mengaku dari bank. Data pribadi adalah barang berharga di era digital ini.
Penyuluh Digital dan BRI
Tidak ketinggalan, BRI pun gencar membangun pelayanan perbankan digitalnya. Salah satunya adalah BRIMO yang kerap saya gunakan.
Namun, seiring dengan digitalisasi layanan perbankan, usaha kejahatan siber pun semakin marak. Menyadari keadaan tersebut BRI terus berupaya meningkatkan pelayanannya dengan menghadirkan penyuluh digital.
Menurut Direktu Utama BRI, Sunarso, penyuluh digital adalah karyawan BRI yang diterjunkan ke masyarakat. Mereka memiliki tiga peran, yaitu:
- mengajak masyarakat agar melek layanan perbankan digital.
- mengenalkan transaksi secara digital kepada masyarakat.
- mengingatkan masyarakat untuk mengamankan rekeningnya dari kejahatan-kejahatan digital.
Digitalisasi layanan keuangan BRI, tentunya, bukan hanya menyasar masyarakat secara individu. BRI yang dikenal sebagai bank-nya pelaku usaha kecil dan menengah, juga menargetkan para pelaku UMKM yang saat ini menjamur di Indonesia, agar go digital.
Layanan digital, mungkin dianggap ribet bagi kalangan yang tidak terbiasa dengan sistem cashless. Di sinilah perlunya peran penyuluh digital dan BRI. Mereka harus maksimal memberikan edukasi kepada masyarakat, agar menjadi nasabah bijak yang siap beradaptasi menghadapi era keuangan digital saat ini.
Referensi:
- https://keuangan.kontan.co.id/news/hadapi-era-digital-bri-optimalkan-peran-penyuluh-digital
- https://www.cnbcindonesia.com/market/20220531105954-17-343151/bri-optimalkan-peran-penyuluh-digital-ini-tugasnya