Tentang Neron
Pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang pria bernama Neron. Dia dikenal sebagai pembuat gula merah pertama kali di wilayah Dusun Besar yang merupakan desa tertua di Kota Bengkulu. Neron selalu menyisihkan air gula merah untuk dinikmati oleh teman-teman yang bertandang ke rumahnya. Sampai-sampai ada ungkapan di tetangga, “Yuk, kita ke Neron.” setiap ingin kumpul-kumpul sekadar ngobrol di tempat Neron yang selalu menyediakan minuman kesukaan mereka.
Versi lain yang berkembang adalah pada masa penjajahan Inggris di Bengkulu, masyarakat dipaksa bekerja menanam kopi, tapi dilarang memetiknya. Jika penasaran ingin minum kopi, pekerja hanya bisa memetik pucuk daun kopi untuk diseduh, seperti teh. Dinikmatinya sambil menggigit gula merah. Istilah ini dikenal sebagai neron beketap.
Neron beketap ini memiliki filosofi bahwa ada orang mencari rezeki di tempat kita, justru kita yang menderita. Hal ini dipercaya sebagai salah satu pemicu pemberontakan masyarakat yang berujung dipenggalnya kepala Thomas Parr, yang monumennya masih tetap berdiri di jantung Kota Bengkulu.
Menikmati Neron
Entah mana yang benar, tapi yang pasti, neron adalah Bahasa Lembak, salah satu suku di Kota Bengkulu. Neron mengandung arti aktivitas menyeduh kopi dan teh warga Lembak. Aktivitas inilah yang sekarang digencarkan oleh komunitas Tobo Berendo yang bermarkas tepat di seberang Danau Dendam Tak Sudah, atau nama resminya Danau Dusun Besar.
Setiap Minggu pagi, dari pukul 06.00 sampai 08.00 wib, siapa saja boleh singgah dan menikmati kopi atau teh gratis, lalu duduk-duduk santai sambil menatap luasnya danau kebanggaan warga Kota Bengkulu. Persis di tepi Danau Dendam Tak Sudah tersedia meja yang penuh dengan gelas-gelas yang terbuat dari bahan yang sangat ramah lingkungan, yaitu tempurung kelapa beralaskan potongan bambu atau batok kelapa itu sendiri.
Pengunjung silahkan bolak-balik meracik minumannya sendiri. Bahan yang disediakan cukup lengkap. Selain ada kopi bubuk, teh celup, teh daun, dan air panas, ada juga gula pasir dan jeruk kalamansi. Kalau mau ditambah makanan, ada yang jualan kue. Ini, sih, bayar, kecuali kamu bawa bekal sendiri.
Ketika saya datang, kopi yang disediakan adalah kopi bubuk yang kerap dijual di warung-warung. Alangkah sedapnya kalau sesekali, kopinya adalah kopi lokal yang sekarang marak dipromosikan oleh pemerintah daerah.
Tapi, karena kegiatan ini murni inisiatif Tobo Berendo sendiri, dibutuhkan kebaikan hati para pengusaha kopi di Bengkulu untuk berbagi sebagian produknya agar bisa dicicipi masyarakat. Siapa tahu ada yang suka dan terkesan, lalu pesan dan dibeli untuk dinikmati di rumah. Syukur-syukur dibantu pemasarannya.
Pagi itu, setelah membuat kopi ala sendiri, saya meniru aktivitas pengunjung yang sepertinya sudah akrab dengan suasana di sini. Saya duduk di salah satu bangku kayu sambil meluruskan pandangan ke arah danau yang menyilaukan berkat semburan cahaya mentari. Sesekali saya menoleh ke belakang, melihat aksi para pendatang yang tanpa ragu langsung memilih gelas dan membuat minumannya sendiri.
Tak lama, segerombolan anak muda datang dengan gelas di tangannya masing-masing. Bukannya asal letak, dengan luwesnya ada yang berjongkok di depan ember berisi air. Mereka merendam batok kelapa bekas minum, mengucek-ngeceknya sekilas, lalu merendam sekali lagi, dan menaruhnya di barisan gelas kosong di atas meja untuk pengunjung lain. Wow, budaya self-service. Bagus! Jelas, ini bukan kunjungan pertama mereka, batin saya.
Di meja lain, tampak gelas bekas minum yang ditinggal begitu saja. Nanti, ketika selesai, ada satu orang yang bertugas menyisir pinggir danau untuk mengumpulkan gelas bekas minum pengunjung. Saya tahu karena saya masih berada di sana ketika teman-teman dari Tobo Berendo itu menutup “lapak’-nya.
Sudah lama saya penasaran dengan kegiatan Neron Gratis di Danau Dendam Tak Sudah ini. Kebetulan, saya juga sedang mengumpulkan bahan tentang rencana pemerintah daerah yang ingin mengembangkan kawasan danau ini menjadi alternatif destinasi wisata di Kota Bengkulu. Beruntung, saya akhirnya bertemu langsung dengan tokoh yang bisa dijadikan narasumber. Mereka paham betul keadaan dan sejarah kawasan danau ini.
Dalam obrolan dengan ketua Tobo Berendo, Sucenk, dan seorang pria yang disebutnya sebagai penasehat, Pak Saiful Anwar, pagi itu saya mendapat wawasan bahwa aktivitas Neron Gratis setiap Minggu pagi yang mereka lakukan ini sebenarnya merupakan bentuk kontribusi bagi kemajuan Bengkulu dengan mengkombinasikan unsur pariwisata dan budaya Lembak. Bahkan, cara minum dengan tempurung ini adalah cara orang Lembak pada masa lalu.
Di mata saya, Danau Dendam Tak Sudah itu sebenarnya membosankan. Kita datang, beli minuman, duduk-duduk sambil memandang danau sekilas, lalu pulang. Tiada berkesan. Mau sampai kapan begini, sementara potensi danau ini sungguhlah besar.
Kejenuhan inilah yang pingin didobrak oleh aktivitas Neron Gratis ini. Meskipun baru awal dan sebuah langkah kecil, tapi pengunjung setidaknya memiliki pengalaman unik saat sengaja datang ke Danau Dendam Tak Sudah. Mereka merasakan sensasi meracik kopi sendiri ala Suku Lembak tempo dulu, lalu menikmatinya sambil memandang keindahan danau atau ngobrol dengan teman sembari dibuai angin sepoi-sepoi.
Sekarang, sih, pemandangannya masih begitu-begitu, mana bising oleh deru kendaraan, khususnya truk yang melintas. Tapi kalau nanti berkembang seperti yang kini tengah disusun rancangannya oleh pemerintah daerah, orang-orang bisa makin betah dan ramai main ke danau.
Sampai akhir tahun 2018, kawasan danau ini masih berstatus sebagai cagar alam. Itu sebabnya tidak ada aktivitas apapun di sepanjang danau, kecuali para nelayan kecil yang menangkap ikan dengan alat tradisional. Namanya tangkul, seperti jala, namun dibuat sedemikian rupa dengan pegangan kayu, hingga bisa terendam, lalu diangkat setelah dianggap berisi ikan.
Dari obrolan bergizi pagi itu, diketahui bahwa Danau Dendam Tak Sudah memiliki potensi wisata alam, budaya, dan edukasi, disamping fungsinya sebagai daerah resapan air, dan sumber air untuk mengairi sawah-sawah yang ada di sekitarnya.
Seandainya dikelola secara bijak dan serius, pembangunan di sekitar danau akan mampu mendongkrak perekonomian warga. Tentunya harus tetap mempertahankan fungsi lingkungan dan kearifan lokalnya.
Saya pribadi, dari dulu penasaran dengan hutan yang tampak lebat di ujung danau. Menurut cerita dari kawan-kawan Tobo Berendo, kawasan Danau Dendam Tak Sudah ini merupakan ekosistem anggrek pensil (Papillionanthe hookeriana) dan burung.
Saya jadi keingatan hutan di Kalimantan saat ke Taman Nasional Tanjung Puting. Untuk bisa melihat orangutan pada jam-jam makan mereka, kami mesti berjalan masuk hutan. Dermaga dan jalan setapaknya terbuat dari papan dan kayu. Barangkali, seperti inilah yang diharapkan warga Dusun Besar tentang pengelolaan kawasan Danau Dusun Besar ini nantinya. Tetap alami.
Idealnya, wisata Danau Dendam Tak Sudah ini jangan mainstream dengan hanya menjual pemandangan atau landscape. Suceng menginginkan ada semacam aktivitas yang melibatkan para pengunjung dan warga setempat, sehingga mereka memiliki kenangan sendiri tentang Bengkulu.
Ke depannya, selain neron, diharapkan ada pilihan aktivitas lain, misalnya wisata air yang bebas polusi, atau dibuat paket khusus satu hari, seperti turun ke sawah, jelajah hutan melihat anggrek atau burung, ikut menangkap ikan, dan keliling danau dengan sampan. Mirip-mirip tur Sungai Mekong di Ho Chi Min City, Vietnam.
Nah, sambil menunggu semua impian itu terwujud, mari kita ke Danau Dendam Tak Sudah tiap Minggu pagi. Kita ngobrol sembari menikmati neron di tepi danau.
wah keren kok langkah kecilnya dengan menyediakan kopi gratis ini.
Seandainya budaya minum dari batok kelapa ini bisa dibudayakan dijakarta, tentu akan meminimalisir sampah plastik.
Dan salut sama self service mereka yang cuci gelas sendiri.
Danau Dendam Tak Sudah? Bagus yaa nama danaunya. Kalau sampai dikenalkan sbg objek wisata, namanya menurutku sudah eyecatching 😀
Perihal ide blusukan ke hutan. pasti ide bagus, tapi karena disana banyak anggrek dan takutnya malah dirusak wisatawan tentu harus ada warga yang jadi tourguide. Kereeen. Semoga Danau Dendam Tak Sudah ini nanti jadi pariwisata yang keren, namun tetap asri tidak dirusak oleh wisatawan nanti. Amiin
Konsep pengembangan idealnya memang harus memberdayakan masyarakat setempat, kak.
Betul banget Bu Inda, pariwisata yang bisa memberikan pengalaman kepada pengunjungnya yang lagi trend sekarang. Akulturasi budaya daerah juga salah satu aspek penting dalam pariwisata berkelanjutan.
Tangkul ini alat tangkap tradisional khas Indonesia ya Bu Inda. Saya ingat, kalau di Rembang Jawa Tengah, ada yang mirip seperti ini. Namanya ancho, namun ukurannya lebih besar dari bahan bambu dan biasanya dipasang di pinggir sungai.
Aku kok suka namanya,, Danau Dendam Tak Sudah. Ada cerita apakah di balik penamaannya?
Btw, neron itu maksudnya ke gula aren kan ya? Kayaknya beda nih sama gula aren di tempat lain. Masukin list dulu, buat siap-siap ke Bengkulu.
Sebenarnya itu “dam” tapi sama orang lokal, penyebutannya jadi dendam.
Aiih..foto2nya cantik..kecantikan Danau Dendam Tak Sudah (namanya unik ya..) tampil memikat.. Semoga aktivitas Neron Gratis ini makin meningkatkan kunjungan ke sini ya..
Semoga pengembangan pariwisatanya dapat dikembangkan dan dikelola dengan baik. Selain jadi destinasi baru Bengkulu, sudah pasti akan bantu perekonomian daerah ‘kan?
Membaca Neron ini saya jadi ingat tradisi kopi daun di Minangkabau. Sama persis kejadiannya, ketika Belanda menerapkan tanam paksa kopi, penduduk hanya mencicipi rasa kopi dari daun yang dikeringkan. Yah dulu Bengkulu juga jadi perkebunan kopi ya..
Semoga niat anak muda untuk membawa tradisi suku Lembak dan menaikan taraf ekonomi di sekitar danau, didengar oleh pemerintah ya. Tempatnya dijadikan kawasan wisata cagar alam. Tempatnya lestari tapi masyarakat juga terbantu secara ekonomi
Penasaran dengan nama danaunya. Mungkin ada cerita kenapa namanya seperti itu oh ya, saya pernah baca. Kopi yang berasal dari seduhan daun kopi. Akibat saking inginnya warga setempat mencicipi nikmatnya kopi pas jaman penjajahan dulu. Kira-kira seperti apa ya rasa teh daun kopi itu.. Semoga pariwisata bengkulu semakin maju. Adanya cerita atau sejarah yang dikisahkan, bisa menjadi daya tarik juga.
Danau Dendam Tak Sudah? Nama paling unik sejauh ini untuk sebuah danau (menurut saya).
Memang rasanya untuk membangkitkan wisata di sekitar danau ini ya perlu ada aktivitas di atas danau dan atau di dalam danaunya. Ini danau air tawar dan bisa dipakai buat menyelam, nggak?
Belum pernah dengar ada yang nyelam.
Unik banget ini ya menyediakan neron gratis sambil dinikmati di tepi danau, sungguh unik dan kental keguyubannya..
Ternyata budaya minum kopi ini ada di setiap daerah ya Mbak dan tiap daerah selalu beda-beda. Menarik banget untuk diulik lebih jauh.
Unik gelasnya. Ini jdnya kopinya dicampur gula merah ya mbak sampai sekarang?
Bagus mbak kalau beneran sudah dikembangkan menjadi destinasi wisata, selain buat hiburan masyarakat kan nanti juga bisa menambah pendapatan warga sekitar lebih besar lagi dr sekarang. Tapi moga gak ada cat warna-warni di sana haha.
Gak. Masih gula pasir sih kalo sekarang.
Aku sukaa deh, baca ini langsung dapet 2 info baru. Neron & danau Dendam Tak Sudah. Namanya unik didengar, pemandangannya juga cantik.
Dan ternyata budaya ngopi ini memang ada di mana2 yaa, namanya yang berbeda
Jadi penasaran minum neron. Kopi dicampur gula aren pasti enak. hehe
“Neron beketap memiliki filosofi: Ada orang mencari rezeki di tempat kita, justru kita yang menderita”– Indonesia banget ini di zaman penjajahan ya mbak.
Btw, mengapa namanya Danau Dendam Tak Sudah? Ada legendanya kah?
Sebenarnya itu dam. Konon, pembangunannya belum tuntas. Entah gimana, sekarang berkembang dari dam jadi dendam.
Ini danau padahal bagus sekali ya kalau dilihat dari fotomu kak. Dan ide memberikan kopi secara gratis bisa jadi daya tarik untuk pengunjung. Aku pribadi, beli kopi pun ngga masalah untuk sekalian memandangi danau ini. Seru pasti 🙂