Saya cuma punya waktu dari sore ini sampai sore besok di Pontianak. Tujuan utamanya cuma pingin ke Sungai Kapuas dan Tugu Khatulistiwa yang menjadi ikon kota itu. Sisanya, ya wisata kuliner.
Sayangnya, saya kurang riset tentang kuliner Pontianak yang wajib dicoba. Tahunya cuma amplang. Ternyata banyak. Nyesal kenapa cuma semalam di sana.
Table of Contents
Daftar Kuliner Pontianak yang sempat Dicoba
Sebelum tiba, saya sempat browsing, sebenarnya. Tapi, dari semua yang saya riset, cuma mie tiau yang melekat di kepala. Kuliner Pontianak lainnya saya nggak ingat sama sekali. Alhasil, saya ikut saran teman yang orang sana saja.
1. Mie Tiau Daging Sapi Apollo (sejak 1968)
Cuma nama mi ini yang melekat di kepala saya browsing tentang kuliner Pontianak yang wajib dicoba. Mi inilah jugalah yang pertama kali saya makan begitu menjejakkan kaki di Kota Pontianak. Pas banget lagi lapar setelah 8 jam perjalanan dari Kuching, Malaysia.
Lokasinya di Jalan Pattimura No. 63, pusat kota Pontianak. Kedai yang memiliki menu utama mie tiau atau biasa dikenal sebagai kwetiau ini menyajikan mi dengan potongan daging sapi yang cukup banyak dan besar.
Selain kwetiau, ada juga menu lain juga, seperti bakso. Porsinya lumayan besar. Teman saya sampai nggak habis memakannya.
Dari sini kami pulang buat bersih-bersih dan isirahat. Sore menjelang magrib, kami ke Alun-Alun Kapuas, saya pingin menyusuri Sungai Kapuas sambil naik kapal kayu.
Kapalnya lumayan besar. Setiap penumpang dikenakan tarif Rp15.000 untuk naik dan berlayar. Kapalnya terdiri dari dek terbuka dua tingkat yang dipenuhi kursi dan meja plastik.
Selain menyusuri sungai, penumpang juga bisa memesan makanan dan minuman. Menikmatinya sambil memandang senja di Sungai Kapuas. Kelilingnya cuma sebentar, nunggu jalannya yang lama. Tapi lumayan puas melihat perkampungan dan aktivitas masyarakat di pinggiran sungai.
Dari sini, saya masih penasaran dengan mie tiaw.
2. Mie Tiau Polo (Pindahan dari sebelah)
Lokasi kedai mi kali ini persis di sebelah Mie Tiau Apollo tadi. Menunya pun sama. Entah, memang ada sejarah, atau hanya strategi jualan, tanda ‘Mie Polo pindahan dari sebelah’ terpampang nyata di depan kedai mi satu ini.
Saya ke sini karena kedua mi ini punya pelanggannya masing-masing. Jadi, cuma pingin tahu. Padahal masih agak kenyang.
Sama seperti mi di Apollo, porsi mi di Polo juga besar, dengan potongan daging sapi yang banyak. Bedanya, warna minya agak pucat. Rasa sih, enak-enak aja di lidah saya.
3. Durian
Sebelum pulang setelah diajak putar-putar kota Pontianak, saya mengajak teman saya makan durian. Meskipun di daerah tempat saya tinggal juga banyak, duren Kalimantan juga terkenal di Indonesia.
Pontianak adalah kota kedua di Kalimatan yang saya sambangi. Sebelumnya saya pernah ke Tanjung Puting di Kalimantan Tengah. Tapi, itu kan bukan ibukotanya dan nggak ketemu durian, makanya sekarang pingin coba.
Lokasinya di pinggir jalan. Entah jalan apa. Durennya disusun rapi, tergantung di rak kayu, jadi gampang memilihnya. Selain kami, ada banyak orang yang sedang menyantap duren di tempat yang memang sengaja menyediakan meja dan kursi itu.
4. Bubur Pedas Pa’ Ngah
Paginya saya dibeliin sarapan. Lumayan buat tenaga panas-panasan berkunjung ke beberapa tempat legendaris di Pontianak. Hari itu kami berkunjung ke Tugu Khatulistiwa, lalu ke Masjid Jami’ yang konon kayu tiangnya telah berusia ratusan tahun. Lokasinya di wilayah yang katanya banyak preman.
Setelah itu kami ke Istana Kadriah yang didominasi ornamen kuning emas. Lalu ke Musium Kalimantan Barat. Terakhir, kami salat di Masjid Mujahidin Pontianak yang besar dan adem.
Dia mengajak saya makan bubur pedas sebagai menu makan siang. Sama sekali nggak kebayang bentuknya seperti apa. Tapi kata-kata sangat pedasnya menggoda.
Wujudnya seperti bubur ayam, tapi lebih cair dan ada irisan sayur. Tambahannya kacang goreng dan teri. Tampilannya emang kurang menarik, tapi sedap di lidah. Orang sana doyan banget kayaknya, karena pengunjung yang saya lihat memakannya dengan lahap. Sementara saya, pelan-pelan saja.
5. Kue Bingke
Antara kenyang dan tidak tahu mau makan apa lagi, saya sampai bingung mau bawa oleh-oleh apa selain amplang. Lalu teman saya mengajak membeli kue bingke, yang katanya khas Pontianak.
Lagi-lagi saya nggak kebayang rupa dan rasanya. Awalnya cuma pingin tahu, tapi jadi beli lantaran cocok di lidah saya. Malah, belum sampai Bengkulu, kuenya sudah tinggal separuh.
Dalam perjalanan menuju rumah, kami singgah di Rumah Radakng, sebuah rumah panggung, terbuat dari kayu dan bentuknya memanjang. Ini merupakan rumah tradisional Pontianak. Sayangnya nggak bisa masuk. Pengunjung cuma bebas keliling di terasnya.
6. Choi pan/ Chai kue
Tak mau membiarkan waktu berlalu, teman saya melipir ke warung kecil, di samping gang menuju rumahnya. Sekilas, saya melihanya seperti pempek atau tomyam tapi rada mengkilap. Saya mulai membayangkan rasa dan teksturnya.
Saya, sebenarnya nggak niat beli. Tapi curiga dengan ucapan teman saya yang bilang dia suka banget makannya, dan sering beli banyak. Kemudian dijelaskan bahwa ada isian pepaya muda, kucai, talas, dan bengkuang.
Ya sudah. Saya pesan dua untuk masing-masing isi. Porsi kukus lebih banyak daripada yang digoreng. Semuanya dibungkus buat kita makan di rumah.
Ya Allah, nggak bisa berhenti saya. Kalau bukan harus berbagi, sudah saya habiskan semua choi pan itu. Mau beli lagi, takut nggak keburu ke bandara.
7. Pisang goreng
Satu kunyahan yang masih saya cari, karena walaupun sudah banyak yang jual di mana-mana, saya tetap mau makan di tempat asalnya. Pisang goreng kipas.
Perasaan, selama di sana, mata saya tidak menangkap penjual gorengan. Tadinya pasrah, kalau nggak ketemu. Yakin aja rasanya nggak jauh beda sama pisang (gepok) goreng biasa. Waktu saya bilang ke teman saya, dia juga tampak bingung. Ada penjual gorengan yang dia tahu yang mungkin sesuai keinginan saya, tapi tidak searah bandara.
Siapa sangka, pas keluar gang yang beda dari jalur biasanya, kami bertemu penjual pisang goreng. Saya lupa harganya berapa, tapi saya beli beberapa buat bekal di pesawat.
Saya yakin masih banyak destinasi kuliner Pontianak yang lezat dan legendaris. Namun karena cuma punya waktu sekitar 24 jam, saya mencoba maksimal memanfaatkan kesempatan. Itu saja sudah maksa-maksa banget perutnya dibikin mampu menampung semua makanan.
Untung bukan pengopi, jadi waktunya nggak diisi sama nongkrong di warung kopi, padahal di Pontianak banyak tempat ngopi, kan.
Jikalau ada referensi tentang makanan ‘wajib coba’ di Pontianak, bar-kabar di kolom komentar, ya. Siapa tahu ada rezeki ke Pontianak lagi.