Menjajal Dataran Tinggi Dieng

Sebelum fajar, bermodalkan motor sewaan, saya memulai penjelajahan sudut-sudut penuh pesona di Dataran Tinggi Dieng. Mengikuti petunjuk si mas di penginapan, saya melaju pelan menuju Bukit Sikunir demi the golden sunrise.

Gelap, tapi yakin aman, karena mulut yang sesekali mengucap doa. Saya penuhi pikiran dengan pemandangan kemarin sore yang saya lihat di sepanjang jalan menuju Dieng dari Wonosobo. Hamparan hijau yang terbentang di kiri-kanan jalan tak henti saya potret walaupun langit berawan kelabu. Perjalanan menanjak dengan mikrobus selama kurang lebih satu jam hanya selintas dirasakan akibat larut dalam pemandangan barisan bukit dan ladang sayur yang memenuhi sisi jalan.

Pemadangan Dataran Tinggi Dieng
Pemandangan Dataran Tinggi Dieng dari bus

Saya agak tenang bercampur senang saat mendengar bunyi motor atau mendapati sorot lampu mobil dari arah belakang. Itu tandanya saya tidak sendirian. Siapa yang rela bangun subuh ke sini kalau bukan para wisatawan, kan. Mereka pasti juga mau menyaksikan matahari terbit yang terkenal sangat indah di Bukit Sikunir sana.

Akhirnya sampai di parkiran. Sendiri saya berjalan mengikuti beberapa orang yang datang berkelompok. Hari masih kelam saat itu, dan saya menyalakan senter dari ponsel poliponik untuk menerangi langkah.

Baru beberapa derap, napas kurang olahraga saya menuntut rehat. Saya persilahkan pengunjung lain lewat. Tanjakannya tidak sulit, sebenarnya. Cenderung mudah, bahkan, karena sudah berbentuk tangga-tangga berlapis paving block. Dasar sayanya yang lemah.

Normalnya, titik pandang bisa dicapai kurang dari satu jam. Tidak terlalu jauh. Sambil menunggu matahari terbit, bagi yang mau salat, tersedia musalah kecil lengkap dengan mukena.

Tak berapa lama, tempat ini sudah dipenuhi puluhan manusia. Meskipun sang surya belum menampakkan dirinya secara utuh, hamparan gulungan tebal awan bak kapas yang ada di depan mata sungguh membuat decak kagum. Kebayang lembut dan empuknya kalau berguling-guling di sana. Padahal… jurang mengangah di bawahnya.

Tak ayal, semua bidikan lensa mengarah ke sana. Bagai berada di atas awan, orang-orang berebut ingin berfoto dengan pemandangan cantik itu. Apalagi saat ada semburat oranye mulai menyembul pelan di kejauhan, langit terlihat sangat mengagumkan.

Tontonan makin seru saat puncak Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing menyembul di sisi lain. Lalu semakin ciamik ketika mentari muncul dengan menyebar cahaya terangnya.

Ah, andaikan berbekal kamera canggih dan ber-skill fotografi yang mumpuni, pasti semua itu terabadikan dengan apik. Sayang, saya hanya mengandalkan ponsel, dan terpaksa minta bantuan orang untuk berfoto dengan keanggunan pagi itu. Biarlah semua keagungan ini saya nikmati dengan mata awam. Biar jiwa saja yang meresapi dan mengenangnya dalam-dalam.

Semakin terang, saya berjalan ke bagian yang lebih tinggi. Di sana ada saung yang telah ramai oleh pengunjung. Tak ingin kalah, saya pun mendekat.

Untung belum terlambat, saya dibuat makin terkesima. Dua gunung yang tadi hanya terlihat puncaknya, dari sini punggungnya terpampang lebar. Gumpalan awan tampak sangat lebar. Panorama alam nan hijau yang luas pun dapat terekam sempurna.

Merasa cukup, saya beranjak turun. Masih ada destinasi lain yang ingin saya datangi. Tapi, pemandangan di sekitar parkiran yang tadi subuh tidak kelihatan, menahan langkah kaki. Sepanjang mata memandang, hanya ada pepohonana dan bukit yang dipenuhi tanaman sayur. Sungguh sangat menyehatkan mata dan jiwa.

Dari Sikunir, saya menuju Kawah Sikidang. Lagi-lagi, meskipun daya tarik utamanya adalah sumber air panas berasap-asap, saya lebih menikmati jajaran bukit hijau di sekelilingnya.

Tak kuat menahan panas yang mulai bikin silau, saya kembali melajukan motor ke Taman Wisata Alam Telogo Warno dan Pengilon. Namun, sebelum melihat danau yang airnya konon dapat berubah-ubah itu dari dekat, saya ingin menikmati pemandangannya dari atas, yaitu dari Bukit Ratapan Angin.

Sekali lagi, mata saya dimanjakan oleh tumbuhan subur dan rimbun yang memagari kedua danau. Tak puas rasanya menatap tempat ini dari satu titik, saya pun beralih ke tempat yang lebih tinggi.

Pengelola sepertinya paham bahwa ini adalah destinasi favorit di Dieng. Selain ada beberapa spot foto alami, disediakan juga semacam jembatan gantung. Pengunjung bisa menguji nyali sambil berfoto dengan latar Telogo Warno. Tentunya tidak gratis.

Dari sini, saya kembali bermotor mendekati danau. Perasaan gerah yang tadi dirasakan di bukit langsung berganti adem. Areal sekitar danau ditumbuhi banyak batang-batang rimbun berakar menjalar. Udaranya sejuk banget. Wisatawan bisa bersantai sambil memandang danau.

Selain itu, di sini juga terdapat beberapa patung dan goa-goa mini. Jadi, bukan semata melihat danau. Cocok banget bagi yang hanya ingin berteman sepi sambil memandang hijau yang meneduhkan. Kalau bawa bekal, pas banget dinikmati di sini.

Puas rasanya bisa menjajal Dieng seorang diri. Tapi, ada satu tempat lagi yang membuat saya penasaran.

Bukan. Bukan Komplek Candi Arjuna. Saya menghabiskan sore di sana kemarin.

Saya penasaran dengan Kawah Candradimuka. Dalam kisah pewayangan, kawah ini adalah tempat Gatot Kaca memperoleh kekuatan supernya, sehingga dijadikan kiasan sebagai tempat penggemblengan para ksatria dan prajurit tangguh. Ternyata, kalau memang kawah itu nyata, saya ingin melihat wujudnya.

Dengan tekad kuat, karena menurut berbagai sumber lokasinya berada di atas bukit di sebuah perkampungan yang kondisi jalannya sangat jelek, saya nekad ke sana. Setelah makan siang, saya mengarahkan motor ke arah Banjarnegara. Fyi, Dataran Tinggi Dieng ini berada di dua kabupaten yang saling berbatasan, yaitu Wonosobo dan Banjarnegara.

Untunglah penunjuk jalannya jelas sehingga sangat mudah menemukan gerbang bertuliskan Kawah Candradimuka. Melihat jalan masuknya, saya lega karena terlihat mudah untuk dilalui.

Rupanya… bagai kisah Kawah Candradimuka, kemampuan bermotor saya benar-benar diuji saat semakin ke atas. Mungkin benar jalannya buruk, karena ditutupi oleh batuan besar yang tidak berlapis aspal, sehingga harus hati-hati. Bisa celaka kalau terpeleset. Tak sampai-sampai rasanya. Badan saya pun berkeringat karena memacu adrenalin.

Akhirnya… perjuangan itu berbuah hasil. Benar-benar tak menyangka kawahnya hanya seperti jurang kecil di sebuah bukit yang dipenuhi tanaman sayur. Bagaikan kolam tanah biasa yang dialiri air panas berkadar belerang yang asapnya mengepul tinggi. Uniknya, terdapat sumber mata air dingin di dekatnya.

Sehari tidaklah cukup untuk mengagumi pesona magis Dataran Tinggi Dieng. Tempat-tempat yang saya kunjungi hanyalah secuil Wonderful Indonesia yang bertebaran di Dieng. Masih banyak bukit dan kawah yang menunggu untuk ditengok. Entah kapan bisa kembali ke sana. Saya rindu alamnya yang sejuk dan menyegarkan.

 

2 Replies to “Menjajal Dataran Tinggi Dieng”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *