Rammang-rammang adalah salah satu tempat di Indonesia yang mampu membuat saya membelalakan mata. Kalau mengenangnya, jadi pingin punya kemampuan teleportasi supaya bisa kembali sekarang juga tanpa melewati bandara dan terminal.
Kalau bisa nih, menginap di rumah warga. Saya pingin bangun pagi dengan pemandangan awan kabut bergelantungan di pegunungan karst. Setelah pandemi COVID-19 berakhir, mari kita ke sana untuk membuktikan apa yang saya rindukan di Rammang-rammang.
Pesona alam Rammang-rammang
Begitu perahu bergerak pelan membelah Sungai Pute, saya langsung terkesima menatap jajaran tebing di sekeliling. Galau, mau dinikmati dan diabadikan dengan mata langsung atau lewat lensa kamera.
Spot wajib dan pasti ketika di Rammang-rammang adalah Kampung Berua yang hanya bisa diakses dengan perahu. Di sini kapal bersandar, lalu pengunjung berjalan kaki mengelilingi kampung.
Hanya ada beberapa kepala keluarga di sini. Mereka tinggal berjauhan di rumah-rumah panggung yang terbuat dari kayu.
Saya hanya berdua Pak Ridwan, pemandu sekaligus pemilik dan pengendali kapal yang saya sewa. Kami melangkah ke semacam bukit berbatu yang di puncaknya ada kedai minuman. Sangat disarankan mengenakan sepatu yang memadai ketika ke sini, demi kenyamanan kaki.
Setelah menyesap secangkir teh hangat, saya mengitari warung sambil mendongak menatap bukit-bukit batu yang menjulang di sekeliling. Setelah itu kami turun dan menyeberangi pematang sawah, mendekat ke salah satu dinding.
Sebagai catatan, kawasan ini dulunya berada di bawah laut. Sebuah kejadian alam berjuta-juta tahun lalu membuat batu karang di dalamnya mencuat ke permukaan hingga akhirnya tempat ini menjadi sebuah daratan.
Itu sebabnya bebatuannya berongga. Fungsinya untuk menyerap air, sehingga keberadaan karst atau pegunungan kapur tersebut sangat dibutuhkan oleh makhluk hidup di sekitarnya.
Namanya karang, wujudnya tak beraturan. Ada satu bagian dinding yang menurut penduduk setempat mirip wajah king kong. Alhasil, disebutnya Batu King kong (King kong Stone), dan membuat pengunjung penasaran.
Selain itu ada juga gua. Salah satunya Gua Berlian. Pak Ridwan tak tega mengajak saya ke sana karena safety medannya belum memadai. Mungkin lain kali.
Sebagai ganti, saya diajak ke Taman Batu Kampung Laku. Isinya, hamparan yang dipenuhi batu-batu hitam yang juga berbentuk aneka rupa, salah satunya berbentuk kepala buaya.
Karena membayar lebih, saya dibawa masuk ke bagian dalam. Di sini, bentuk batunya seperti di film Tomb Rider. Selain menjulang, juga membentuk lorong dan relung yang berkelok-kelok. Melekuk-lekuk juga hingga menyerupai beragam benda, tergantung yang melihat. Ada yang seperti lubang kunci, singgasana, elang, dan lain sebagainya. Saya hanya tersenyum mendengar cerita Pak Ridwan yang juga merangkap fotografer saya itu.
Terakhir, kami ke Gua Kunang-kunang. Saya bela-belain ke sini karena terpana dengan foto yang diperlihatkan Pak Ridwan.
Setelah menyandarkan perahu, kami berjalan menuju sebuah tebing. Tampak tangga bambu mengarah ke sebuah lubang di punggung tebing. Sebelum naik, kami menyewa senter kepala seharga Rp5000. Di dalam gelap, tidak bisa mengandalkan senter dari handphone.
Jalan menuju gua lumayan licin, tapi tidak sempit. Di dalamnya dipenuhi staklaktit dan stalakmit yang berkelap-kelip bak kunang-kunang. Saya langsung berseru girang, berasa Aladin yang menemukan harta berkilau. Bukan kali pertama saya menyentuh kedua fenomena alam itu, tapi baru di Rammang-rammang saya berada di dalam gua yang seluruh dindingnya dilapisi staklatit dan stalakmit berwarna gading.
Merasa puas di sini, kami kembali ke dermaga. Perahu melaju pelan melewati sungai yang di kiri-kanannya berjajar tanaman bakau. Sesekali saya memayungi mata menantap puncak-puncak karst yang sebagian tebingnya ditumbuhi pepohonan. Pegunungan karst ini termasuk satu dari yang berbesar di dunia.
Lokasi Rammang-rammang dekat dari pusat kota Makassar
Rammang-rammang terletak di Kabupaten Maros, di antara rute Makassar – Toraja, jadi bisa dikunjungi dari kedua kota tersebut. Waktu itu saya mengambil bus malam dari Toraja, subuhnya minta turun di pertigaan Semen Bosowa. Dari sana tinggal jalan kaki ke dermaga Kampung Karst.
Langit masih gelap saat saya tiba. Dermaga pun tidak tampak. Saya ngetem dulu di masjid. Begitu terang, hanya saya seorang diri di dermaga kayunya yang kecil, sampai akhirnya datang Pak Ridwan.
Patokan lokasi dermaganya adalah jembatan. Katanya sih, ada tiga dermaga. Tapi yang di bawah jembatan ini adalah yang paling mudah ditemukan. Parkirannya pun luas bagi yang membawa kendaraan.
Meskipun berada di luar Kota Makassar, destinasi ini bisa dijadikan 1-day trip. Menginapnya di Makassar saja karena jarak tempuhnya hanya sekitar satu jam, atau sekitar 40 km dari pusat kota.
Saya kemarin solo traveling. Kemana-mana naik kendaraan umum, sementara sewa kapal biayanya cukup mahal. Terpaksa, biaya akomodasi harus ditekan.
Tadinya ragu bakal menemukan hotel murah di Makassar yang lokasinya strategis. Ternyata banyak, salah satunya RedDoorz Hostel @ POD House Makassar. Tarifnya bahkan kurang dari Rp100.000 per orang atau per bed, dan persis menghadap Pantai Losari.
Saya bisa menatap Masjid 99 Kubah yang saat itu masih dalam tahap finishing dari balkon atas. Lalu lobinya menyatu dengan coffee shop. Asyik buat nongkrong.
Pusat para pedagang pisang epe ada di seberang jalan. Jalan Somba Opu yang merupakan sentra oleh-oleh ada di belakang, lalu di kiri dan kanan hostel berjejer pertokoan, restoran, dan tempat belanja.
Mau ke Benteng Rotterdam, bisa dicapai dengan berjalan kaki. Mau salat di masjid terapung, cuma berjarak beberapa meter. Mau berburu kuliner khas Makassar, tinggal pilih. Beruntung banget saya bisa bermalam di sana.
Perjalanan ke Rammang-rammang bisa dimulai selepas subuh dari hotel di Makassar, atau di manapun kalian menginap. Pagi adalah waktu yang sangat pas karena udaranya masih segar dan bisa merasakan sinar mentari pagi yang sehat. Meskipun begitu, tetap harus bawa topi karena kalau siang mataharinya lumayan terik.
Membantu perekonomian lokal
Rammang-rammang dulunya sempat menjadi kawasan tambang. Lalu warga dan pemerintah daerah sadar bahwa kegiatan tersebut merusak lingkungan. Pegunungan karst yang mengelilingi mereka memiliki potensi lain yang lebih bernilai, baik bagi lingkungan maupun perekonomian lokal.
Berbagai upaya dilakukang demi mengubah wajah Rammang-rammang. Sekarang, selain dikenal sebagai ikon wisata di Sulawesi Selatan, khususnya Kabupaten Maros, Rammang-rammang pun telah didaftarkan ke UNESCO untuk ditetapkan sebagai warisan dunia.
Warga yang dulu kebanyakan bekerja sebagai penambang, kini beralih mata pencarian. Kebayang kan, dari yang biasanya mengandalkan otot, sekarang dituntut penuh ekspresi bersahabat di sektor pariwisata.
Oleh karenanya, edukasi dan sosialisasi rutin diberikan agar warga di sana sadar betapa berharganya kekayaan alam yang mereka miliki. Peran mereka dibutuhkan untuk menjaganya sehingga banyak wisatawan yang datang, dan memberi mereka penghasilan.
Pemerintah daerah pun memberikan pengelolaan sepenuhnya kepada masyarakat. Menurut Pak Ridwan, semua biaya yang ditetapkan di kawasan ini merupakan hasil kesepakatan bersama. Pengunjung tidak perlu khawatir bakal kena tipu-tipu harga.
Masyarakat dibebaskan membuka usaha untuk menarik perhatian pengunjung. Tarif yang paling tinggi sebenarnya cuma penyewaan perahu, yaitu Rp250.000 untuk maksimal 5 orang. Selebihnya hanya keluar uang untuk tiket masuk dan penyewaan alat seharga Rp5000 – Rp10.000 di beberapa titik.
Rammang-rammang memang ditargetkan menjadi destinasi ekowisata berbasis masyarakat, selain tentunya juga sebagai objek penelitian. Sekarang sudah ada kafe dan eco lodge bagi yang mau berlama-lama dan bermalam di dalam kawasan. Berbagai event pernah diadakan di sini, dan ada beberapa festival yang dijadwalkan setiap tahunnya.
Sayang, wabah COVID-19 telah menghantam keras sektor pariwisata. Efeknya pasti dirasakan pula oleh warga di Kampung Karst Rammang-rammang. Semoga mereka baik -baik saja.
Sudah sewajarnya nanti kita agendakan liburan ke sini. Kita dukung warga agar menggerakkan roda ekonominya lagi. Secara tidak langsung ini akan membuat mereka optimis dan konsisten menjaga kealamian Rammang-rammang.
Bentang alamnya juga pas sebagai tempat melepas penat setelah berbulan-bulan di rumah saja. Nanti di sana kita bebas teriak-teriak, berlarian, dan menghirup kesegaran udara.
P.S.: Pak Ridwan bisa dikontak di nomor +62 81242611365.
Foto pemandangan paling atas mengingatkan saya dengan lukisan alam yang ada di rumah nenek. Ternyata Indonesia punya kekayaan alam dan potensi wisata yang sangat banyak. Salah satunya Ramang Ramang ini. Sangat inspiratif.
waaa ini di makasar kak, keren banget, ada sawah nan asri lalu ada gua nan elok, akomodasi juga lengkap. pengen ke sini suatu saat nanti
Aku pernah ke sini mbak, dan tempatnya memang bagus banget! Sayang nggak banyak yang dilakukan kecuali naik perahu dan menikmati pemandangan ya 🙂
Menikmati pemandnagan sembari foto-foto bisa lama kalau saya. 🙂
Bagus banget ya tempatnya, foto pertama mengingatkanku pada scene film luar negeri haha…
Ternyata itu nyata dan ada di Indonesia.
Rammang-rammang ini sungguh menarik untuk dikunjungi ya kak, Apalagi biasanya destinasi ekowisata berbasis masyarakat akan lebih homey dan menyenangkan
Rammang-rammang masih masuk dalam daftar kunjungan kalau diberi kesempatan berkunjung ke Sulawesi.
Ini berkunjungnya saat pagi ya, kak, nuansa fotonya keren banget.
Coba cek aja dulu, tiket pesawat pp Sekarang – Makassarnya, Mas.
Waduh jadi malu, saya orang Makassar tapi belum pernah ke Rammang-Rammang. Insya Allah deh, setelah Covid ini berlalu dan kita diberi umur panjang, mau banget berkunjung ke tempat ini. Ntar, bisa buat liputannya juga kayak artikel ini.
Biasanya emang gitu, kan. Orang dari jauh-jauh pada datang, eh yang dekat-dekat malah belum.
Peejalanan solo yang seru banget, Kak. Senang bisa mampir dan membaca pengalaman menyenangkan begini.
Saya berharap agar RedDoorz sebagai salah satu jaringan budget hotel, tetap bertahan sepanjang pandemi ini. Cukup sedih karena ada beberapa usaha yang kemudian terpaksa tutup selamanya sebab pandemi.
Iya, ya. Jangan sampai jaringan hotel murah sampai tutup. Kasihan kita yg low budget traveler ini. Hehehe…
Sudah 2 kali saya baca keindahan Rammang-rammang ini. Eh Mbak Inda nulis juga . Emang indah ya mbak. Semoga pandemi segera berlalu ya. Biar bisa jalan -jalan lagi.
Saya baru sekali ke Rammang Rammang, tapi nggak sempat menginap di rumah warga. Pemandangannya memang keren banget
Saya juga gak nginap, kok. Pengennya nanti bisa nginap di sana.
okey, kalau begini tempatnya mana cukup 3 alasan kakaaaaa.
Cantik banget dan menenangkan untuk menghilang sejenak sih ini tempatnya
Silahkan tambahin alasan lainnya, kak.
namanya unik ya mba rammang rammang, kayak kata remang-remang. tempatnya indah banget. jadi pengen kesana. dulu ke makassar cuma transit doang, sayang banget ga sempat explore keindahaan alamnya
Artinya awan, karena emang karena ketutup, jadi remang-remang.
rencana untuk balik lagi ke makasar dan explore toraja maupun rammang-rammang udah ada, kadang waktunya yang nggak tepat. waktu bulan bulan kemarin lagi ramai covid juga, jadi bingung. next
ini view hotelnya oke juga, bisa liat masjid 99 kubah
wah keren banget ini tempatnya, jd mau ke sana, kapan?
Kapan aja bisa kalo yakin Covid-19 udah hilang.
duuuuh terakhir ke makasar pas outing kantor, rammang-rammang malah ga dimasukin ke dalam itin :(. padahal aku pgn kesini drpd pulau samalona yang crowded banget. Apa daya krn acara kantor, semuanya udah ditentuin ama travel tournya.
Kereeen sih memang pegunungan karstnya. bikin aku inget ama pegunungan karst di vang vieng Laos. Naik balon udara dengan latar gunung karst 🙂 . Apalagi lebih cakepan karstnya rammang2
Aah, harus ya aku ke Laos awal tahun kemaren. Apa daya terhalang pandemi. 🙂
trima kasih info trip nya…
makasar keren abis
Diriku lihat rammang-rammang di blog post ini jadi ingat film Trinity Traveler yg juga solo traveling ke tempat ini juga. Menarik kak, jadi pengen ke sana juga, someday soon.