GMT, Kreatifitas, dan Budaya Membaca

Sebelum gerhana mulai: “Katonyo jam 6:19. Iko, la jam 7 belum jugo… jangan-jangan dak jadi gerhananyo…”

Ketika gerhana: “Idak total, dak yo…  Tapi kan, katonyo, Bengkulu memang sebagian ajo…”

Setelah gerhana selesai: “Aaayy… idak total. Katonyo gerhana matahari total.”

Pagi itu, bersama beberapa warga, saya tidak ke Benteng Malborough yang ditetapkan oleh pemerintah setempat sebagai titik pengamatan gerhana matahari total (GMT) di Kota Bengkulu. Saya memilih menyaksikan kejadian ini dari dekat rumah, yaitu di kawasan Danan Dendam Tak Sudah, yang pada hari-hari biasa kerap menampilkan pesona matahari terbitnya yang sangat indah.

IMG_5592 (640x480)

Sama antusiasnya dengan para wisatawan yang sengaja berkunjung ke kota-kota yang telah ditetapkan sebagai daerah yang akan mengalami GMT, saya sengaja bangun subuh agar tidak ketinggalan momen penting #WonderfulEclipse. Sekitar pukul 06:00, saya segera bermotor menuju danau, dan menemukan sudah banyak orang, lengkap dengan peralatan berlensanya. Karena persis di pinggir danau tidak ada lagi tempat kosong, terpaksa saya melipir, ke bagian yang banyak hutannya saja.

Dalam penantian menunggu datangnya bulan yang telah lewat dari jadwal yang ditentukan, saya tertarik untuk memperhatikan pola tingkah orang-orang di sekitar saya. Hasilnya, banyak temuan menarik, khususnya terkait kreatifitas dan budaya membaca di masyarakat.

Kreatifitas

Ketika tiba di lokasi, saya melihat sudah banyak orang yang rata-rata telah siap dengan kacamata hitamnya, dan hanya beberapa yang mengenakan kacamata khusus seperti yang dijual di pasaran. Di dekat saya, sepasang suami-istri dan seorang anaknya datang dengan membawa beberapa negatif foto atau biasa disebut klise. Modal saya hanya iphone dan sunglasses coklat.

Setelah kedap-kedip beberapa kali, lalu memandang dan berpaling dari matahari, si suami yang saya ceritakan di atas, akhirnya menemukan cara jitu untuk melihat jelas sang surya. Caranya, menggunakan klise beberapa lapis. Semakin tebal klise, maka semakin jelas bentuk mataharinya. Beruntung, dia membawa lebih dari lima buah.

Kamera iphone saya belum juga menghasilkan foto maksimal. Tapi dasar anak sholeha, “Nih, cubo pakai, biar matonyo idak sakit.” tiba-tiba si suami tadi bersuara sambil mengulurkan beberapa klisenya kepada saya. Mungkin dia mampu mendengar suara hati saya yang dari tadi ingin meminjam klisenya, dan diperjelas dengan helaan kesal saya setiap melihat hasil foto di handphone. Tanpa mikir, langsung saya ambil dan menempelkannya di bagian belakang iphone untuk menutupi lensa kameranya. Ternyata, mataharinya memang terlihat jelas tapi hasil fotonya masih belum memuasakan.

IMG_5612 (640x480)

Pengalaman saya berbeda dengan apa yang didapatkan oleh teman yang merekam proses gerhana melalui telepon pintarnya. Dengan sabarnya dia memegangi tiga lapis klise kecilnya tanpa menempelkannya di kamera handphone. Alhasil, walaupun kecil, matahari yang berbentuk seperti bulan sabit karena tertutup bulan bisa jelas terlihat.

Selain klise, lembaran hasil ronsen rupanya juga bisa dipakai untuk melihat gerhana. Lembaran tersebut dipotong kira-kira seukuran jarak kedua mata, lalu ditempelkan di bagian luar kacamata hitam. Dengan begitu, ketika mencobanya, saya tidak perlu susah-susah memeganginya.

Tiba-tiba, ketika bulan semakin jauh bergeser dan hari gelap seperti sedang mendung, saya melihat beberapa orang berlari mendekat ke sebuah mobil yang terparkir. Entah siapa yang memulai ini, tapi proses gerhana memang bisa jelas terlihat dari kaca jendela mobil tersebut.

IMG_5622 (640x480)

Selain itu, ada juga yang melihat proses gerhana dari kaca helm yang gelap. Dan yang menarik, karena saat itu saya berdiri di depan sebuah gerai penyewaan kostum yang bagian depannya tertutup kaca, kami juga bisa melihat proses gerhanan dari sana. Tinggal berbalik badan dan melihat pantulan objek melalui kaca.

IMG_5620 (640x480)

All in all, ada banyak cara unik untuk menikmati gerhana yang sebelumnya mungkin tidak terpikirkan, termasuk bertegur sapa dengan orang yang tidak dikenal hingga bisa dipinjami negatif foto dan kacamata berlapis hasil ronsen. What a #WonderfulEclipse.

Budaya Membaca

“Ngapo bisa terjadi gerhana?” Tanpa sengaja saya mendengar ada yang ngobrol.

Seperti yang telah beredar di banyak media, gerhana kali ini sangat spesial karena hanya terjadi di Indonesia sebagai wilayah daratan yang dilalui GMT. Dan oleh BMKG, telah diumumkan tentang jenis gerhana yang akan terjadi di beberapa wilayah yang akan mengalaminya: sebagian atau total. Jenis gerhana ini juga dilengkapi dengan perkiraan waktunya. Saya sendiri mendapatkan informasinya melalui facebook.

FB_IMG_1457529943081 (480x480)

Tetapi… karena kecenderungan di masyarakat kita adalah MENDENGAR, bukan MEMBACA, maka fenomena GMT di Bengkulu baru marak terasa ketika menjelang bulan Maret 2016. Seiring dengan pemberitaan di media sosial, media lokal Bengkulu pun ramai menggaungkan lokasi pengamatan GMT-nya. Hasilnya, tanggal 9 Maret sama saja seperti hari-hari biasa, tanpa kesan bahwa Bengkulu telah bersiap dari jauh-jauh hari menyambut wisata gerhana. Tidak ada berita tentang peningkatan tamu hotel atau jumlah wisatawan yang datang ke Bengkulu dengan alasan melihat gerhana. Bengkulu terkesan terlambat menyadari bahwa matahari di wilayahnya akan tertutup bulan, walaupun itu hanya sebagian.

Di sisi lain, masyarakat tetap beranggapan bahwa pagi yang gelap akan terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Faktanya, ini hanya terjadi di beberapa daerah saja, bahkan ada yang sama sekali tidak mengalami gerhana. Bengkulu beruntung karena dikabarkan sebagai lintasan pertama yang dilewati fenomena GMT.

Dalam bayangan warga, GMT akan tepat terjadi pada pukul 06:19 wib. Masyarakat tidak peduli bahwa itu adalah waktu perkiraan dan bulan butuh waktu untuk  bergerak hingga menutupi matahari. Mereka hanya tahu arti total adalah gelap secara keseluruhan. Wajar, karena yang terdengar di telinga mereka selama ini hanyalah GMT, gerhana matahari total. Gerhana matahari sebagian hanya samar-samar sampai di telinga masyarakat, kecuali ada yang sempat membaca.

Kebayang, kalau berita gerhana tidak ada di televisi.

2 Replies to “GMT, Kreatifitas, dan Budaya Membaca”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *