Saat sedang duduk berjemur santai di teras, mata saya menangkap tumpukan kardus bekas di sudut rumah. Bukan pemandangan baru, karena kami memiliki warung. Barang bekas itu hanya akan bertahan beberapa minggu. Tidak lama lagi, akan ada yang membelinya.
Iya membelinya, seperti sekitar 2 atau 3 bulan lalu. Aktivitas rutin setiap beberapa bulan sekali itu membuat saya berpikir, apakah itu tergolong green jobs yang sekarang ramai didengungkan?
Pagi itu rumah kami didatangi seorang pria. Dia membuka pagar, lalu mendorong gerobaknya masuk ke halaman. Hanya ada beberapa barang di dalam gerobak kayu berbentuk bak itu, salah satunya karung plastik putih yang biasa untuk beras.
Dia langsung mendekat ke tumpukan kardus yang didekatkan ayah saya. Mengecek sekilas, lalu menimbangnya. Begitupun pada seember plastik berisi berbagai botol minuman kemasan dan beberapa barang tak terpakai lainnya.
Kali ini timbangannya cukup modern. Hanya dengan menggantungkan beban, angka digital tertera di layar. Sebelumnya saya pernah lihat ada yang timbangannya masih konvensional, seperti timbangan balita di posyandu zaman dulu.
Saya mencoba mengingat asal barang-barang yang ditimbang itu. Kardus-kardus tentunya berasal dari kemasan barang-barang dagangan di warung, botol kosong bekas pemakaian di rumah, botol dan minuman kemasan bekas pembeli dan tamu yang datang ke rumah, ember yang sudah lama bocor dan pecah, lalu beberapa mainan rusak milik keponakan saya.
Semua rongsokan itu mungkin lebih dari sebulan saya lihat menumpuk dan teronggok di sudut teras. Ini bukan pemandangan asing. Tapi, selama ditata rapi, tidaklah terlalu mengganggu.
Setelah dianggap banyak, kami memanggil pemulung bergerobak yang sering lewat di depan rumah. Terkadang, malah mereka yang bertanya, apakah ada barang bekas.
Ayah saya lebih memilih untuk menunggu banyak dulu, baru memanggil salah satunya. Lumayan, ada nilai ekonominya. Bisa jadi duit. Meskipun cuma beberapa puluh ribu rupiah, ada puasnya kalau bisa menghasilkan uang, sekaligus membersihkan rumah.
Kelihatannya memang kami yang beruntung. Kenyataannya, itu adalah mata pencarian bagi sebagian orang. Sampah-sampah yang mereka kumpulkan akan dijual kembali ke tempat pengumpulan sampah daur ulang. Nilainya pasti lebih besar daripada nilai yang mereka tawarkan kepada kami.
Sebenarnya, bisa saja ayah saya langsung menjual barang-barang bekas itu ke tempat penampungan. Tapi, lokasinya jauh dari rumah, dan kami tidak memiliki kendaraan untuk mengangkutnya.
Pekerjaan mengumpulkan barang bekas ini kelihatannya receh, seperti pemulung pada umumnya. Uang yang didapat juga mungkin hanya cukup untuk menyambung hidup. Tapi jasa mereka punya dampak besar dalam menjaga kebersihan lingkungan.
Tahu sendiri, kan, masyarakat kita. Banyak yang mengaku beriman dan berilmu, tapi hanya segelintir yang sadar dan tahu di mana harus membuang sampah.
Contoh jelas bisa dilihat setiap ada keramaian, entah di ruang publik atau di ruang pribadi. Kalau ada yang membawa koran bekas sebagai alas duduk, tidak sedikit yang meninggalkannya begitu saja setelah dimanfaatkan. Belum lagi kemasan bekas minum dan makan. Bukannya dikumpulkan dan dibuang ke bak sampah terdekat, malah ditumpuk di sembarang tempat, bahkan dibiarkan berserakan, berharap dipungut pemulung atau tukang sampah yang bertugas. Belum ada kesadaran untuk mempermudah pekerjaan mereka, dengan membersihkan kembali tempatnya.
Green Jobs di Sekitar Rumah: Pemungut Sampah Kiloan
Dalam pandangan saya, kegiatan memungut sampah bernilai jual itu, bisa dianggap green jobs. Pelakunya mungkin tidak berpikir panjang tentang dampak lingkungan dari pekerjaan mereka, tapi kalau pengertian green jobs adalah segala jenis usaha yang berorientasi perbaikan kualitas lingkungan, saya pikir mereka termasuk di antaranya.
Iseng, saya kepikiran, bagaimana seandainya mereka dipermak lebih keren, sesuai zaman. Pekerjaannya boleh jadi bergaul dengan sampah dan berpenampilan lusuh, tapi mereka dibekali perangkat modern sehingga memiliki nilai lebih karena banyak yang membutuhkan.
Misalnya seperti transportasi umum online yang bisa dipanggil melalui aplikasi. Para pemulung bergerobak ini tentunya dilengkapi dengan peralatan yang mampu memilah barang, menimbang, sekaligus menakar nilai uangnya. Sistem pembayarannya, bisa secara tunai dan nontunai.
Entahlah, itu mungkin cuma imajinasi saya. Pekerjaan ini bukan hal aneh di kampung halaman saya, Bengkulu. Saya sudah melihatanya dari kecil. Tidak tahu di kota-kota lain di Indonesia.
Siapa tahu, apa yang saya pikirkan di atas bisa menginspirasi para inovator masa depan untuk mewujudkan Indonesia lebih bersih. Atau barangkali… sudah ada. Tinggal eksekusinya yang perlu dukungan.
Adakah, mungkin, Han Ji Pyeong atau Nam Do San dan Seo Dal Mi seperti di drakor Start-Up, yang tertarik untuk mengembangkan ide green jobs satu ini?
Wahh saya baru tau sekali mengenai pekerjaan dengan istilah Green Jobs ini, ternyata ada ya pekerjaan yang bisa memperbaiki lingkungan. Mungkin kalau di Indonesia digalangkan atau buka secara nasional, mungkin Indonesia bakal bebas bencana yang sumbernya dari pengrusakan lingkungan… huhu