Makan harus habis, dulu, buatku, hanyalah sekadar perintah orang tua, supaya tidak mubazir, karena nanti makanannya nangis. Mubazir adalah temannya setan. Temanan sama manusia aja banyak dramanya, apalagi sama setan.
Syukurlah, kalau soal makan, aku cukup bangga dengan diriku. Sangat jarang, rasanya, aku menyisakan makanan yang telah ku ambil. Malah, piringnya bersih, sampai-sampai bisa langsung ditaruh di rak piring, tidak perlu dicuci.
Ternyata, seiring bertambahnya pengetahuan, aku jadi tahu bahwa makanan sisa yang biasanya dibuang, memiliki pengaruh besar terhadap lingkungan. Bukan sekadar menjadi sampah yang mengotori bumi ini, tapi bisa menyebabkan perubahan iklim.
Table of Contents
Mengenang Tragedi Sampah
Terkesan receh, memang. Sampah makanan bisa mempengaruhi dampak perubahan iklim. Loh, kok, bisa?
Mari kita mengingat tragedi pada sekitar pukul 02.00 wib, 21 Februari 2005, tentang tewasnya 157 warga yang tertimbun sampah di TPA Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat. Kalau dipikir, mana mungkin orang bisa mati hanya karena ketimbun sampah.
Namanya Tempat Pembuangan Akhir, pasti penuh dengan tumpukan sampah organik dan anorganik. Tumpukannya bahkan mencapai 60 m sepanjang 200 m.
Sesaat sebelum kejadian, hujan turun dengan lebatnya. Bisa dibayangkan, gunungan sampah itu pasti telah terjadi berbulan-bulan, mungkin bertahun-tahun.
Secara keilmuan, sampah organik akan menghasilkan gas metana. Didukung lingkungan yang basah dan lembab, terjadilah peningkatan konsentrasi gas metana. Namanya gas, kalau keadaan memanas, ya bakal meledak.
Ledakan inilah yang meyebabkan longsoran sampah yang menimbun Kampung Pojok dan Cilimus di sekitar TPA Leuwigajah. Alhasil, warga menjadi trauma.
Musibah ini pun akhirnya dijadikan momentum sebagai Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN). Diperingati setiap tahun, agar masyarakat berusaha meminimalisir sampah dalam kehidupan sehari-hari.
Sampah Organik dan Perubahan Iklim
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia telah merilis data sampah di Indonesia sepanjang tahun 2022. Diketahui bahwa terdapat 18,82 juta ton sampah yang didominasi oleh sampah organik, plastik, dan kertas.
Sampah-sampah tersebut juga telah dikelola, tapi baru sebanyak 77,23 % atau setara dengan 14,7 juta ton. Lumayan…
Dari data itu, jadi tahu, kan sampah organik termasuk yang mendominasi. Sampah atau limbah organik dianggap berbahaya bagi lingkungan karena menghasilkan metana (CH4) dan karbondioksida (CO2) yang menyebabkan emisi gas rumah kaca, sehingga berdampak pada perubahan iklim.
Kedua gas itu berhubungan langsung dengan pola konsumsi masyarakat. Peningkatan jumlah dan pertumbuhan penduduk Indonesia yang besar, pastinya menyebabkan kenaikan konsumsi, sehingga memproduksi sampah, khususnya limbah domestik.
Persoalan sampah saat ini, tidak hanya tentang bagaimana mengelola barang yang tidak terpakai lagi, tapi juga tentang materialnya yang sulit diurai, serta kandungan berbahaya yang terdapat di dalamnya.
Oleh sebab itu, ketika mendapatkan suatu barang, entah dengan cara dibeli, atau dibuat sendiri, kita juga harus berpikir jauh tentang bagaimana barang tersebut akan berakhirnantinya. Manfaat apa yang bisa didapatkan dari benda tersebut, khususnya ketika tidak dibutuhkan lagi.
Kalau soal sampah anorganik, kita semua telah mengenal konsep reduce, reuse, dan recycle. Sampah organik, sama saja, sebenarnya. Namun, ada hal yang menurut saya, paling mudah kita lakukan sebagai manusia.
Makan Tanpa Sisa
Makanan, apapun wujudnya, ketika dibuang, statusnya telah berubah menjadi sampah. Digolongkan sebagai sampah organik, karena terbuat dari tanaman atau hewan yang merupakan makhluk hidup, atau bersifat alami.
Sampah organik ini, kalau dibiarkan menumpuk, tahu sendiri, kan, efeknya. BAU. Itulah aroma gas metana. Oleh sebab itu, kita harus mencegahnya dengan berbagai cara.
Salah satunya dengan menghabiskan makanan yang ada di piring masing-masing. Cincay banget, kan. Pun memudahkan proses cuci piringnya.
Lagian, buang-buang makanan adalah ironi di tengah krisis pangan yang melanda dunia. Ketika ada sebagian negara yang kelaparan dan kekurangan sumberdaya alamnya, kita malah menyia-nyiakan makanan.
Saking seriusnya persoalan sampah makanan ini, konsumsi dan produksi yang bertanggungjawab menjadi tujuan ke-12 dari tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals) hingga tahun 2030. Setiap negara didorong untuk melakukan efisiensi pengelolaan dan penggunaan sumberdaya demi terciptanya pola konsumsi berkelanjutan.
Mengelola Sampah Sisa Makanan
Pasti pada mikir, gimana dengan sisa kue hajatan, kulit buah, tulang, atau tanaman lainnya. Kan semua itu tidak bisa dimakan lagi.
Tentu ada banyak cara untuk mengolahnya. Di antaranya:
Menyumbangkan sisa kue/ makanan yang masih dalam kondisi baik kepada meraka yang membutuhkan
Setahu saya, di Bandung ada komunitas yang bisa dihubungi untuk menjemput makanan sisa pesta atau dagangan yang tidak laku. Nanti akan didistribusikan ke panti atau kepada mereka yang kekurangan.
Dijadikan makanan ternak
Kalau saya di rumah, sisa tulang ayam atau ikan, sering ditumpukkin di luar dapur untuk kucing-kucing liar yang biasanya suka manjat tembok. Pastinya, ada beragam cara untuk memanfaatkan sisa makanan menjadi pakan ternak.;
Mengompos
Lumayan, bisa hemat biaya dari membeli pupuk. Teman-teman bisa membuat pupuk alami dengan mengandalkan limbah dapur atau daun dan ranting di rumah.
Membuat perencanaan ketika belanja dan menyimpan bahan makanan
Sebelum belanja, mungkin bisa dicatat dulu, mau masak apa saja. Lalu bahan makanan yang mungkin cepat busuk, hanya dibeli sedikit untuk segera dimasak, biar nggak menuh-menuhin kulkas.
Menjadi donatur
Teman-teman bisa berkontribusi mencegah dampak perubahan iklim melalui pihak lain. Teman-teman bisa menyisihkan uang jajan melalui Yayasan Greeneration Foundation. Ini adalah lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada isu lingkungan dan konsumsi.
Sebagai LSM, Greeneration Foundation tidak bisa bekerja sendiri dalam menjalankan program-programnya sebagai eksekutor untuk memberdayakan masyarakat, merangkul kolaborasi multipihak, dan mengedukasi masyarakat. Kolaborasi dan kontribusi berbagai pihak, termasuk individu, sangat dibutuhkan.
Ada banyak cara berkolaborasi dan berkontribusi, misalnya untuk sharing ilmu, menjadi Greeneration Buddies, menjadi relawan, hingga yang paling mudah, memberikan donasi rutin. Tujuannya tidak lain, agar program penyelesaian masalah lingkungan di Indonesia bisa berjalan.
Terkait sampah, saat ini Greeneration Fondation memiliki kegiatan tahunan bertajuk Jambore Indonesia bersih dan bebas sampah. Aksi nyata ini menyatukan para pegiat sampah di seluruh Indonesia. Tujuannya, untuk menjalin komunikasi nasional sebagai momen perumusan rencana aksi bersama dalam mempercepat pengelolaan persampahan di Indonesia.
Yuk, sama-sama kita peduli sampah demi mengurangi dampak perubahan iklim! Mulai sekarang, selalu makan sampai habis!
Referensi:
- https://greeneration.org/publication/green-info/tpa-leuwigajah-cikal-bakal-hpsn/#:~:text=Tragedi%20TPA%20Leuwigajah%20Renggut%20Ratusan%20Jiwa,-Warga%20Berkumpul%20Menyaksikan&text=Akibatnya%2C%20157%20orang%20tewas%20tertimbun,60%20meter%2C%20sepanjang%20200%20meter.
- http://pojokiklim.menlhk.go.id/read/pengelolaan-sampah-dan-perubahan-iklim
- http://sdgs.bappenas.go.id/
Dari dulu aku memang dibiasain utk habiskan makanan. Tapi dulu alasan ortu supaya ga mubazir dan dosa.
Nah skr ini, Krn udah tau ttg perubahan iklim akibat makanan sisa, aku tegasin ke anak2 utk ngabisin makanan mereka. Ambil secukupnya, jgn serakah. Jadi g ada yg namanya nyisain makanan. Dulu pun aku sempet puter video atau gambar anak2 di Etiopia yg kekurangan makanan, kurus , sampai ke tulang .
Supaya anak2 juga sadar di luar sana ada anak lain yg butuh makanan dan pasti seneng bgt bisa dpt makanan.
Semoga aja semakin banyak orang yg sadar pentingnya utk ga membuang makanan ya mba
masih banyak yang belum memiliki kesadaran mengenai persampahan, baik dari sisa makanan maupun dari limbah lainnya. Mari kita mulai ajarkan dari diri kita dan orang terdekat kita mengingatkan untuk tidak membuang sampah sembarang.