Selalu, setiap bertemu, lalu diajak ngobrol orang, saat di perjalanan, pertanyaan yang kerap muncul adalah: “Sama siapa ke sini?”, “Temannya mana?”, atau “Sendirian aja?”.
Tidak hanya ketika di perjalanan. Pun saat sudah kembali, pertanyaan serupa juga masih aku dapatkan.
“Sama siapa, Nda, kemeren, perginya?” atau “Kalo jalan-jalan gitu, biasanya, sama siapa?”
Semuanya aku jawab hanya dengan dua kata: “Sendirian aja.”
Ekspresi mereka campur-campur, antara heran, kagum, aneh, dan kasihan, sepertinya menjadi satu. Kemudian, sering ada pertanyaan lanjutan. “Kenapa nggak aja gua?”, “Kenapa nggak ajak teman?”, “Berani? Nggak takut? Aman?”, atau “Emang, enak, jalan sendiri?”.
Langsung aku respon: “Kalo ngajak lu, kapan perginya.”, atau “Malas, aah. Ribet kalo pergi sama orang. Harus kompromi, diskusi, tunggu-tungguan. Buang-buang waktu.”
Biasanya mereka langsung diam.
Table of Contents
Traveling Sendirian Aja, Siapa Takut!
Begitulah traveling cara aku. Seandainya teman-teman adalah pembaca setia blog ini, atau pernah iseng ngepoin feed Instagramku, kebanyakan isinya tentang pengalamanku solo traveling. Foto atau videonya aku dokumentasikan sendiri menggunakan tripod, letakkan kamera di tempat yang aku inginkan, dan sesekali minta tolong orang lain.
Jika ingin berjalan cepat, maka berjalanlah sendiri. Jika ingin berjalan jauh, maka jalanlah bersama-sama.
Kalimat bijak di atas, sepertinya, tidak cocok untuk gaya traveling-ku. Aku justru merasa bisa berjalan cepat dan jauh saat traveling sendirian. I am not good at dealing with drama.
Ya, pasti pernah, kan, merencanakan sesuatu jauh-jauh hari, ujung-ujungnya gagal berangkat, karena ada saja kendalanya. Bisa juga, pas di tengah perjalanan, ada sedikit perbedaan pendapat yang bikin mood terganggu.
Makanya, aku mending pelesiran sendiri ke tempat yang dimau. Biasanya ada aja orang-orang yang menjadi teman perjalanan. Ketemunya cuma sebentar, bahkan tidak saling kenal nama, tapi tidak sedikit juga yang tetap saling kontak, meskipun hanya lewat media sosial.
Sepanjang aku solo traveling, rasanya belum pernah merasa kesepian. Mungkin, karena itu adalah keinginanku sendiri, dan menikmati kesendirian itu.
Solo traveling membuatku mengenal potensi diri yang selama ini, mungkin tidak disadari, baik sisi positif, maupun negatif. Contohnya:
- ternyata, aku cukup mudah memahami peta, atau mencari alamat;
- aku berani tega menolak tawaran para penjual suvenir, meskipun mereka anak-anak. Tentunya dengan cara sopan;
- aku yang terbiasa menggunakan motor manual, ternyata, mampu keliling Bali selama 3 hari mengendari motor matic sewaan;
- tubuhku, rupanya, kuat berjalan kaki sejauh 3 km, kalau memang diperlukan. Lutut dan kaki memang, terkadang, menjerit perih, tapi aku tidak pernah mau menyerah.
- aku mengenali reaksi tubuh yang memberi sinyal bahwa untuk menghindari lawan bicaraku. Jadi, selama perasaan itu tidak hinggap, aku percaya diri saja berinteraksi dengan orang-orang baru. Tentunya, tetap waspada.
Berbagai Keseruan Traveling Cara Aku
Jujur, sebagai perempuan, hal yang paling aku takutkan ketika bepergian seorang diri, adalah mendapatkan pelecehan seksual. Namun hal tersebut bisa dihindari dengan cara:
- Menghindari tempat sepi dan gelap, khususnya pada malam hari;
- Berusaha selalu berada di keramaian dengan tetap waspada;
- Bersikap santai, layaknya warga lokal. Kalau bingung, berhenti sebentar, cari tempat duduk, dan browsing informasi, sehingga tidak terkesan pelangak-pelongok yang mengundang gangguan orang jahat;
- Segera menghindar ketika merasa tidak nyaman dengan lawan bicara yang baru dijumpai.
Syukurlah, sejauh melangkah seorang diri ke beberapa negara dan kota di Indonesia, pengalaman yang ku takutkan belum pernah terjadi. Malah, pengalaman seru dan menyentuhlah yang kerap dijumpai, bahkan sukar dilupakan.
Ditolong Emak-emak Myanmar di Bus
Ceritanya, dari Bandara di Yangoon, Myanmar, aku naik bus kota menuju pusat kota. Nominal uang terkecil yang aku punya, setelah menukarkan uang di bandara, adalah 1.000 Kyat.
Aku hanya mengira-ngira ongkos busnya dari referensi yang ku baca. Ketika naik bus dari pintu depan, aku serahkan uang tersebut langsung kepada supir.
Memang ada kotak uang di bagian depan, dan aku melihat penumpang yang baru naik, langsung memasukkan uangnya ke sana. Namun karena tidak yakin, apakah uangku pas, lebih, atau kurang, aku hanya menatap Pak Supir, dan dia mengulurkn tangannya, menerima uangku.
Begitu aku berdiri di belakangnya, dia memberikan uang kembalian 400 Kyat. Aku menerimanya dengan ikhlas, lalu mengarahkan pandangan ke sekeliling bus dan ke jalan raya.
Terlihat, di bangku penumpang di hadapanku, seorang ibu berucap sesuatu. Aku lupa, bagaimana persisnya, dia menunjuk uang yang masih ku pegang, lalu mengangkat dua jarinya. Aku hanya tersenyum, tapi dia mengarahkan telunjukknya kepada supir yang sedang mengemudi.
Aku bolak-balik memandangi mereka, lalu ke arah penumpang lain di sekitar kami. Aku hanya bisa tersenyum meskipun tidak mengerti situasinya. Kembali ku arahkan pandangan keluar bus.
Aku merasa ibu tadi masih memandangiku. Beberapa penumpang lain, sesekali juga menatapku. Mungkin mereka kasihan, pikirku, melihat seorang perempuan berperawakan kecil, kucel karena belum mandi dari kemarin sore, dan menggendong ransel gendut yang aku letakkan di dekat kaki.
Ekor mataku menangkap si ibu kembali bersuara. Aku pun menoleh ke arahnya. Lagi-lagi, dia menunjuk dua jarinya, lalu ke arah supir. Dalam keadaan mereka-reka apa yang sedang terjadi, aku mendengar suara si ibu agak meninggi. Kali ini langsung kepada supirnya.
Tak dinyana, supirnya mengambil sesuatu dari kantong kemejanya, lalu menyerahkan uang 400 Kyat kepadaku. Seketika aku langsung paham apa yang telah terjadi.
Begitu uang diterima, segera ku pandang si ibu. Aku hanya mampu tersenyum sambil menganggukan kepala sebagai tanda terima kasih.
Mendapatkan Kawan ke Gunung Batur, Bali
Sampai sore menjelang dan diguyur hujan, aku belum juga mendapatkan kepastian dari guide yang menawariku trip ke Gunung Batur besok subuh. Sepertinya aku bakal mendaki seorang diri, batinku, semoga bisa.
Langsung aku membayangkan diriku bermotor jam 3 pagi ke area Gunung Batur yang rutenya saja tidak aku ketahui. Namun aku berpikir positif bahwa pasti tidak akan makan waktu lama, karena aku menginap di daerah Kintamani.
Namun, sepertinya Tuhan tidak tega kepadaku. Saat sedang menunggu jemputan dari pemilik homestay, tempatku menginap di Desa Peglipuran, aku ngobrol dengan dua orang staf di Bagian Informasi.
Aku bercerita tentang rencanku besok pagi, dan bertanya tentang tempat-tempat wisata terdekat. Mereka sempat bertukar pandang ketika ku bilang bakal ke Gunung Batur sendirian.
Seperti teman-teman ketahui, Desa Penglipuran dan Gunung Batur, keduanya berada di wilayah Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali. Tadinya, aku berencana menginap di jalur pendakian Gunung Batur, tapi tempat yang aku mau, sudah penuh.
Aku sempat mencuri dengar obrolan kedua orang pekerja tadi. Mereka memang berbicara dalam Bahasa Bali, tapi terselip juga kata-kata dalam Bahasa Indonesia.
Salah satunya, yang nanti ku ketahui bernama Yuni, berucap bahwa besok dia libur. Entah bagaimana mulanya, Langsung ku sambar, “Apa, kamu libur besok? Ikut ke Gunung Batur aja, yuk!”
Yuni dan temannya langsung lihat-lihatan. Seolah tidak percaya, tapi juga tertawa senang. Pasti bingung mau merespon apa. Aku pun mengeluarkan jurus bujukan.
Melihat reaksi Yuni, aku yakin dia mau, walaupun belum memberikan jawaban pasti. Seketika aku sudah tidak peduli lagi dengan kabar tentang open trip.
Yang penting, aku tidak bakal sendirian ke Gunung Batur besok!
Seperti dugaanku, Yuni setuju mengikutiku ke Gunung Batur. Dia bahkan telah menghubungi temannya yang biasa menjadi pemandu ke sana.
Kisah di atas hanyalah secuil keseruan saat aku solo traveling. Wujudnya bukan cuma sekadar bantuan kecil, tapi juga keselamatan, dan lancarnya semua yang direncanakan.
Pengalaman buruk adalah pelajaran. Pengalaman baik adalah memori. Apapun itu, traveling sendirian adalah caraku menikmati hidup.
Kebaikan yang aku terima selama di perjalanan memberiku motivasi hidup. Aku selalu berusaha menjadi orang baik, dan semampuku akan memudahkan urusan orang lain, dalam kehidupan sehari-hari.
Kita tidak pernah tahu balasannya akan berwujud apa, oleh siapa, dan bagaimana. Satu yang pasti, kemanapun melangkah, aku selalu berpikir positif, dan yakin bahwa setiap masalah pasti akan ada solusinya.
Ingin Ke-(m)-Bali Lagi
Menjelang akhir 2022, akhirnya, aku traveling jauh lagi naik pesawat terbang. Sudah menjadi kebiasaanku untuk mengunjungi tempat baru setiap tahunnya sebagai hadiah ulang tahun kepada diriku sendiri.
Bali adalah destinasi yang aku pilih sebagai my belated birthday trip pada tahun 2022. Itu, bukan trip perdanaku ke Bali, tapi di sana ada destinasi impian yang sudah lama ingin ku lihat, bahkan dari zaman sekolah dasar. Untunglah, semuanya ada dalam satu wilayah, yaitu Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli.
Meskipun lebih fokus mengunjungi destinasi wisata Kintamani, bukan berarti aku tidak singgah ke tempat lain. Aku juga main ke Ubud, Kuta, dan Sanur, tapi hanya sehari. Itu sebabnya, kalau tahun ini ada kesempatan ke Bali lagi, aku berencana menghabiskan waktu di Ubud.
Merindu Ubud
Tempo hari ke Bali, aku cuma semalam di Ubud, jadi cuma sekadar tidur dan makan doang. Untunglah dapat penginapan nyaman yang ada kolam renangnya. Jadi bisa berenang dulu sebelum sarapan.
Meskipun tidak sampai 24 jam di sana, aku langsung paham kenapa Ubud bisa menjadi tempat favorit warga internasional. Walaupun hanya level kecamatan di Kabupaten Gianyar, Ubud sukses menyabet urutan ke-3, sebagai kota terbaik di dunia tahun 2022, menurut survei Majalah Travel + Leisure dari Amerika Serikat.
Berdasarkan pengalaman yang singkat di Ubud itu, aku memiliki alasan sendiri untuk kembali, yaitu:
- banyak penginapan dengan harga terjangkau dengan view panorama hijau dan menyediakan sarapan smoothies, kolam renang, pijat/ spa, dan aktivitas yoga. Itu, kan, Bali vibe banget, dan aku belum merasakan seluruhnya;
- bisa praktik ngomong Bahasa Inggris, karena turis mancanegara berseliweran, hampir di setiap penjuru Ubud.
- banyak wisata dan aktivitas alam, seperti persawahan, perbukitan, dan air terjun. Maklum, sebagai anak Bengkulu, aku hampir setiap hari melewati pantai;
- lokasinya ideal untuk menjangkau berbagai destinasi wisata di Bali. Rata-rata berjarak sekitar satu jam berkendara dari Ubud.
- keramahan warga lokal dan lingkungan yang aman. Di hostel tempatku menginap, jarak bangunan dan tempat parkirnya terpisah beberapa meter. Sempat khawatir, tapi stafnya meyakinkanku bahwa motor sewaanku bakal aman-aman saja di parkiran mereka yang tidak berpagar itu. Ucapan itu terbukti benar.
- Sebagai traveler yang hobi jalan kaki, di mataku, Ubud terbilang ramah bagi pejalan kaki, karena ada trotoar di hampir semua jalan rayanya.
- banyak resto dan kafe yang bikin betah berlama-lama, entah karena view, atau suasananya.
Rencana Selama di Ubud
Beginilah, kira-kira, wishlist-ku kalau nanti kembali liburan ke Ubud.
Hari ke-1:
Berangkat dari Bengkulu ke Bali dengan transit di Cengkareng. Atur-atur jadwal dan pesan tiketnya, di mana lagi kalau bukan di Traveloka.
Sampai di Bandara Ngurah Rai, pasti sore. Tidak perlu pusing lagi mencari angkutan, karena sudah pesan mobil sehari sebelumnya.
Aku akan menggunakan fitur Airport Transfer dari Traveloka. Ini semacam jasa jemputan atau taksi yang akan mengantarku ke tujuan.
Airport Transfer bisa dipesan, minimal satu jam sebelum waktu penjemputan. Tidak bisa mendadak, pas sampai bandara, baru mau pesan. At least, sebelum boarding-lah pesannya.
Sebagai simulasi, aku coba pesan transportasi dari Bandara Ngurah Rai ke daerah Ubud. Pilih-pilih jam berapa ingin dijemput di bandaranya, sesuai pesawat mendarat. Nanti akan tampil pilihan armadanya.
Voila! ongkosnya lebih murah dari taksi biasa, bahkan jauh lebih murah dari biaya penjemputan yang ditawarkan hotel di Ubud.
Tarif yang tertera terasa makin bersahabat, karena sudah termasuk bahan bakar minyak, tol, dan parkir. Jadi tinggal duduk santai di mobil.
Hari ke-2 dan ke-3
Niatnya pingin sewa motor untuk keliling Ubud. Kalau nggak ribet, juga pinginnya pindah-pindah hotel.
Walaupun solo traveling dan niat explore kota sendiri, aku tidak menutup kemungkinan untuk gabung open trip yang ditawarkan hotel, atau gabung dengan paket travel yang bertebaran di Ubud dan di Traveloka.
Lihat-lihat referensi di fitur Attractions dan Xperience Traveloka, ada beberapa spot yang ingin ku jajal saat di Ubud nanti, seperti balon udara, jungle swing, dan menyusuri lokasi shooting film lawas, Eat Pray Love.
Untuk kulinernya, aku penasaran pingin makan di Resto Bebek Tepi Sawah, Bebek Bengil, dan makan nasi campur yang belum sempat kucoba waktu itu. Kalau masih ada waktu, mau juga nongkrong cantik di salah satu mini cafe atau coffee shop di sana.
Hari ke-4
Saatnya pulang. Pesan kendaraan lagi di Traveloka menuju bandara.
Melihat jadwal liburan yang ku susun di atas, terkesan matang banget, ya. Begitulah, siapapun bisa rencanakan liburan di Traveloka secara mandiri, karena fitur yang tersedia sangat lengkap dan memudahkan.
Yuk, ah, kita traveling dan bikin rencana liburannya bareng Traveloka!
Tapi, ingat, apapun cara traveling-mu, mau sedirian atau bareng teman dan kerabat, yang penting #LifeYourWay sesuai suara hati! Kitalah yang paling tahu apa yang kita mau agar tetap waras menjalani hidup ini.
Yg ibu Myanmar baiiiiik banget ❤️❤️.
Itulah enaknya kalo traveling, bisa ketemu dengan banyak tipe orang ya mba. Aku sendiri jujur bukan tipe solo traveler, dan ga pernah suka solo. At least aku hrs ada temen, selama ini selalu Ama suami atau temen yg memang udh klop banget gaya jalannya dengan aku. Jadi kecil kemungkinan kami ribut di tengah jalan.
Intinya memang bikin perjalanan yg sesuai gaya kita. Jangan maksain. Krn yg ada ga happy. Traveling tujuannya supaya seneng, rileks, bukan malah pusing sepanjang perjalanan .